Jakarta, innews.co.id – Seorang penyidik di kepolisian (maupun lembaga lain) sebaiknya memiliki latar belakang hukum. Hal tersebut agar dapat memahami, tidak hanya dalam konteks persoalan yang ditangani, tapi juga terkait relasi dengan penegak hukum lainnya.
Reformasi Polri yang saat ini tengah dijalankan sebaiknya memastikan kapasitas penyidik demikian agar penanganan perkara bisa berjalan lancar.
Masukan itu disampaikan advokat senior H. Dr. Sutrisno, SH., M.Hum., sehari setelah memenuhi undangan Komite Percepatan Reformasi Polri, di Jakarta, Kamis (10/12/2025).
“Pengalaman saya selama ini sebagai advokat dalam menangani perkara, mulai dari membuat laporan polisi, penyelidikan, gelar perkara, dan penyidikan, sering terjadi penyidik memaksakan kehendaknya dalam menyampaikan pertanyaan atau terkesan mengintimidasi tersangka. Bahkan, diduga ada upaya mengkriminalisasi seseorang sehingga terkesan tidak obyektif dan hanya berpihak kepada kepentingan pelapor/pengadu,” katanya.
Jadi, meskipun terlapor sudah diberikan penjelasan dari aspek hukum, namun tidak digubris oleh penyidik.
“Banyak penyidik terkesan memakai kacamata kuda dalam menangani kasus tertentu. Meski tidak semua penyidik yang mempunyai watak demikian dengan berbagai alasan,” jelas Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini.
Karenanya, Dr. Sutrisno mengusulkan, sebaiknya seorang penyidik berlatar belakang pendidikan sarjana hukum sehingga menguasai hukum pidana, hukum acara pidana, kode etik, hak asasi manusia, dan aturan lainnya.
Dampingi klien
Dalam UU KUHAP, advokat diizinkan mendampingi kliennya saat penyelidikan dan penyidikan. Juga bisa memberikan masukan hukum kepada penyidik, bahkan beradu argumen.
Bagi Sutrisno, itu merupakan bagian dari reformasi hukum. “Keberadaan Polri sebagai penyidik dalam sistem peradilan Indonesia harus mematuhi seluruh pasal dalam KUHAP terkait dengan keberadaan advokat.
“Saat ini, menurut KUHAP, advokat dapat mendampingi klien saat pemeriksaan saksi dan bisa berbicara saat mendampingi saat pemeriksaan tersangka. Selain itu, seluruh keterangan advokat dicatat dalam berita acara pemeriksaan dan ada kesempatan restorative justice tanpa tendensi apapun sehingga dapat diterima semua pihak yang berperkara,” terang Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) periode 2015-2022 ini.
Dirinya juga mengusulkan, dalam reformasi Polri sebaiknya pengangkatan Kapolri cukup dilakukan oleh Presiden tanpa melibatkan DPR. Demikian juga memberlakukan sistem aparat yang profesional dan berani memberikan sanksi tegas tanpa pandang bulu bagi polisi yang melakukan pelanggaran.
Selain itu, perlu adanya laporan kekayaan secara berkala dari anggota Polri serta memberlakukan teknologi modern, transparan dan pendekatan berbasis data untuk penegakan hukum yang lebih efektif.
Begitu juga harus direformasi sikap polisi dalam menangani aksi massa seperti demo, di mana harus mengutamakan sikap humanis, menghargai hak asasi manusia, menghindari sikap kekerasan dan dialogis dengan peserta aksi.
Reformasi menyeluruh
Lebih jauh Sutrisno mengatakan, bukan hanya Polri yang perlu direformasi, melainkan semua penegak hukum, seperti jaksa, hakim, dan advokat.
Dari sisi organisasi advokat, sambungnya, harus dikembalikan sesuai dengan UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi No 14 tahun 2006, yang menyatakan bahwa organisasi advokat hanya ada satu sebagai organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri dan memiliki 8 kewenangan.
Dengan begitu, advokat dapat terus meningkatkan kualitas profesi dan tunduk kepada kode etik profesi advokat.
“Saya berharap reformasi Polri bisa berjalan dengan dan merubah wajah polisi, tidak hanya benar-benar mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, tapi juga lebih dekat ke masyarakat, menjadi pengayom, dan bisa diandalkan,” pungkasnya. (RN)













































