Jakarta, innews.co.id – Konflik sosial yang terjadi di Distrik Kapiraya, Kabupaten Deiyai, Papua Tengah (perbatasan Mimika), harus segera diredam. Konflik antar-suku yang memanas pada akhir November 2025, dipicu perselisihan tapal batas wilayah adat Mee dan Kamoro serta maraknya aktivitas tambang emas ilegal (PETI).
Konflik ini menimbulkan korban jiwa (termasuk Pendeta Neles Peuki), luka-luka, serta pembakaran rumah dan fasilitas umum. Rencananya, Pemerintah Pusat akan membahasnya pada 16 Desember ini.
Secara khusus politisi Partai Golkar Papua Yance Mote mengadakan pertemuan terbatas dengan Ketua DPRK Mimika Primus Natikapereyau, yang juga Putra Suku Kamoro, di kediamannya, Senin (15/12/2025).
Salah satu yang dibahas adalah belum jelasnya batas wilayah Kabupaten Mimika definitif pasca penghapusan Kabupaten Administratif Mimika.
Yance tegas mempertanyakan, “Apakah dalam menentukan batas wilayah, pemerintah hanya berdasarkan UU saja? Sementara di suatu wilayah ada penyebaran suku-suku dan masing-masing memiliki tapal batas yang telah ada sejak nenek moyang dulu, baik itu untuk wilayah tempat berburu, mencari ikan, dan tempat tinggalnya”.
Yance menegaskan, “Selama ini kita menghargai hukum adat (adat recth) sebagai bagian dari pewarisan budaya”.
Hukum Adat (Adat-Recht) adalah sistem hukum tak tertulis yang berasal dari kebiasaan, nilai, dan praktik masyarakat adat di Indonesia, yang diakui konstitusi dan mengatur kehidupan sosial, perkawinan, warisan, hingga penyelesaian sengketa, dengan ciri khas komunal, konkret, dan tunai, serta memiliki sanksi yang mengikat secara adat.
Karenanya, menurut Yance, perlu dikaji berdasarkan etnografi dan pemetaan wilayah adat suku dan marga oleh lembaga terkait sehingga tidak terjadi multi-tafsir terhadap kedudukan hukum.
Dijelaskan, UU No 45 Tahun 1999 menjadi landasan hukum pembentukan Kabupaten Mimika, yang memisahkannya dari wilayah induk dan menetapkan batas-batas awalnya.
Lantas, muncul UU No. 5 Tahun 2000 sebagai Perubahan Atas UU Nomor 45 Tahun 1999, yang mengatur perubahan atau penyesuaian terhadap ketentuan dalam UU 45/1999, termasuk terkait wilayah dan administrasi di Papua.
Dalam UU tersebut, Pasal 2 menyebutkan bahwa pembentukan Kabupaten Mimika di antara kabupaten dan provinsi baru lainnya di Irian Jaya (sekarang Papua). Dan, Pasal 6: Menetapkan wilayah Kabupaten Mimika, mencakup Kecamatan Mimika Barat, Mimika Timur, Mimika Baru, dan Agimuga pada saat itu.
Untuk itu, penghapusan Kabupaten Administratif Mimika setelah terbentuknya Kabupaten Mimika yang definitif, tetap mengacu pada UU No. 45 Tahun 1999 dan perubahannya.
Sementara itu, pemekaran Kabupaten Deiyai diatur dalam UU Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Deiyai, yang ditetapkan pada 26 November 2008. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Deiyai yakni, berbatasan dengan Kabupaten Paniai (Utara & Timur), Kabupaten Mimika (Selatan), dan Kabupaten Dogiyai (Barat).
“Itu menjadi dasar hukum pembentukan daerah otonom baru ini dari wilayah Kabupaten Paniai sebelumnya yang tujuannya untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua,” ungkapnya.
Legal standing tambahan dari pembentukan ini mengacu pada UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. (RN)












































