Jakarta, innews.co.id – Kurator kerap merasa di persimpangan jalan ketika menghadapi korporasi sebagai kliennya yang tengah berproses arbitrase, sementara di sisi lain menghadapi status pailit. Hal tersebut kerap membingungkan.
Memperjelas hal tersebut, Trio Calon Pimpinan Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Jimmy Simanjuntak, Resha Agriansyah, dan Daniel Alfredo (Edo) yang dikenal dengan JRE ini, membedah hal tersebut dengan menggelar Seminar Internasional bertema “Insolvency & Arbitration Navigating the Issues With International Perspective”, di Grand Ballroom Hotel Sultan Jakarta, Jumat (11/7/2025).

Sejumlah pembicara kawakan dihadirkan guna menambah wawasan dan perspektif para kurator yakni, Daniel Alfredo, Dr. Sahat Marulitua Sidabukke, Dr. Hamonangan Syahdan Hutabarat, dan Adnaan Noor.
Para narasumber secara lugas menerangkan bagaimana menangani korporasi yang dalam proses arbitrase, namun dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
Sebagaimana diketahui, insolvensi adalah keadaan ketika seorang debitur, baik individu atau perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban finansialnya, yaitu tidak dapat membayar utang-utangnya pada saat jatuh tempo.
“Seminar internasional ini berangkat dari situasi yang kerap dialami oleh para kurator bilamana diperhadapkan pada situasi demikian,” kata Daniel Alfredo, SH., MH., CLA., CLI., AIIArb., calon kuat Ketua Harian AKPI periode 2025-2028 ini.

Alfredo yang akrab disapa Edo ini melihat ada persinggungan terkait kepailitan dan arbitrase. Antara lain, ketika debitur yang sedang berproses arbitrase, namun kemudian menghadapi status pailit. Juga perlu diperjelas, apakah putusan arbitrase, baik asing maupun nasional dapat dijadikan dasar permohonan pailit/PKPU atau dasar pendaftaran tagihan Serta bagaimana peran kurator dalam menghadapi perkara arbitrase yang melibatkan debitur sebagai pihak.
Disinggung perlu tidaknya dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU), agar masalah tersebut bisa diatasi, Edo beranggapan, kedua UU tersebut memiliki fungsi masing-masing.
“Kalaupun perlu dilakukan revisi, tentu bukan semata karena masalah tersebut. Namun, bila direvisi tentu perlu adanya sinkronisasi terkait masalah itu,” ujar Founder dan Senior Partner Legisperitus Lawyers ini.

Kurator dan Arbiter Senior ini menegaskan, hukum itu dinamis dan perkembangannya sesuai perubahan zaman.
“Memang sudah ada diskusi dan wacana mengenai kemungkinan perubahan UU Kepailitan dan juga pengembangan UU Arbitrase yang terpisah dengan alternatif penyelesaian sengketa. Namun, tentu perlu pengkajian mendalam. Intinya, kita tidak boleh anti terhadap perubahan,” imbuhnya.
Melalui Seminar Internasional ini, sambung Edo, para kurator diberi pencerahan dan tambahan wawasan, khususnya terkait praktik arbitrase dan kepailitan di negara-negara tetangga.
“Ini bisa juga menjadi masukan penting untuk revisi UU Kepailitan dan pengembangan UU Arbitrase kedepannya,” tukasnya.
Edo berharap para kurator bisa semakin memahami dunia kepailitan dan arbitrase. Dan, bilamana menemukan masalah ini bisa mengambil ancang-ancang solusinya. (RN)












































