Kuasa Hukum Korban Pembelian Apartemen Pakuwon Jati Group Nilai Polisi Langgar HAM

Pada 18 Januari lalu, Ike didampingi Kamaruddin mendatangi Unit 5 Jatanras Direskrimum PMJ untuk memberikan klarifikasi, tambahan bukti, dan mempertanyakan status tersangka dan DPO-nya. Pihak kepolisian tak mampu memberikan jawaban yang jelas untuk pertanyaan yang diberikan

Jakarta, innews.co.id – Ike Farida, korban pembelian apartemen PT Elite Prima Hutama (PT EPH), anak perusahaan Pakuwon Jati Tbk, menilai Polri telah melanggar hak asasi manusia (HAM) terkait belum dihapus namanya dari daftar pencarian orang dalam website Polri. Padahal, dirinya sudah memberikan keterangan resmi di Polda Metro Jaya, Rabu, 18 Januari 2023 lalu.

“PMJ telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 kalau belum juga menghapus nama klien kami dari website PMJ,” kata Kamaruddin Simanjuntak kuasa hukum Ike Farida, dalam keterangan persnya yang diterima innews, Kamis (26/1/2023).

Menurutnya, laporan ini adalah cipta kondisi alias rekayasa pengembang. “Mereka (pengembang) kalah di seluruh putusan pengadilan, tapi menolak menyerahkan unit apartemen. Agar klien kami tidak menuntut haknya, kemudian dilaporkan ke PMJ. Ini kan lucu, konsumen yang sudah bayar lunas hampir 12 tahun lalu, dimenangkan oleh semua putusan pengadilan, tapi pengembang PT Elite Prima Hutama tetap menolak serahkan unit kepada klien kami, malah melaporkan ke PMJ. Ini laporan sama sekali tidak bermakna, tapi PMJ malah mencantumkan kliennya dalam DPO, ini sudah pelanggaran HAM terang-terangan,” tegas Kamaruddin.

Ike Farida meminta Polri memperbaiki sistem IT-nya, agar websitenya tidak kalah dengan online shopping.

Diterangkan, kasus ini bermula dari Ike Farida, yang membeli unit apartemen dari pengembang tak bertanggungjawab PT EPH, anak perusahaan dari Pakuwon Jati Tbk Group. Pasca pelunasan pembayaran, PT EPH enggan menyerahkan unit apartemen yang telah dibeli doktor ilmu hukum itu di Tower Avalon Apartemen Casa Grande Kota Kasablanka, Jakarta Selatan.

“Terhitung sejak 30 Mei 2012, klien kami telah melunasi unit apartemen tersebut. Namun sejak itu unit tersebut tak kunjung diterima. Awalnya alasan pengembang adalah karena Ike menikah dengan WNA dan tidak punya perjanjian kawin. Tapi setelah dibuat perjanjian kawin pun tetap PT EPH menolak menyerahkan unit apartemen yang telah dibeli lunas oleh Ike,” beber Kamaruddin.

Ketika coba diselidiki, ternyata menurut Kantor Badan Pertanahan Nasional dan Cipta Karya, Pemda DKI Jakarta, PT EPH tidak punya perijinan lengkap untuk melakukan Akta Jual Beli. Antara lain pertelaan atau pemecahan sertifikat, kemudian SLF (sertifikat laik fungsi). “Ini kan penipuan terhadap konsumen,” tandas Ike.

Diungkapkan, pada saat dirinya membeli pada 2012 lalu, apartemen tersebut sudah dihuni oleh lebih dari 80% konsumennya. “Marketing pengembang mengklaim bahwa seluruh perijinan sudah oke. Karena dikatakan semua perijinan sudah oke, saya berani beli,” kisahnya.

Akhirnya, perkara tersebut dibawa ke pengadilan dan Ike telah memenangkan 4 putusan final terhadap PT EPH yakni, putusan dari Mahkamah Konstitusi, Putusan MA RI kasus konsinyasi, putusan PK dari MA RI, dan Putusan Perlawanan di PN Jakarta Selatan.

Seluruh putusan itu merupakan perintah lantang dan hukuman kepada PT EPH untuk menyerahkan unit apartemen hak milik Ike beserta dengan pembuatan AJB dan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS). Namun seluruh kepastian hukum ini justru diputarbalikkan oleh pihak PMJ dengan menetapkan Ike sebagai tersangka dan memasukannya ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Oleh Penyidik Unit V Subdit IV Dirkrimum PMJ, dalam Laporan Polisi No: LP/B/4738/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya, Ike dituduh melakukan sumpah palsu dan melanggar Pasal 242 KUHP.

“Penyidik telah keliru dalam memaknai penerapan Pasal 242 KUHP terkait dengan tuduhan memberikan keterangan palsu sebagai bukti baru (novum) dalam persidangan. Pasal tersebut umumnya digunakan sebagai tindak lanjut dari kekuasaan hakim sebagaimana ketentuan Pasal 174 KUHAP, dimana yang memiliki wewenang untuk melakukan penilaian terhadap sumpah palsu adalah Hakim Ketua, bukan Kepolisian atau pengembang PT EPH,” urai Kamaruddin.

Dijelaskan, ada 7 hukuman untuk PT EPH yakni, (1) menghukum Tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan ini; (2) menghukum Tergugat memproses dan melakukan penandatanganan PPJB Apartemen; (3) menghukum Tergugat memproses dan melakukan penandatanganan AJB; (4) menghukum Tergugat menyerahkan asli surat Apartemen berikut surat pendukung lainnya; (5) menghukum Tergugat menyerahkan Apartemen berikut kunci-kuncinya; (6) menghukum Tergugat menyerahkan sertifikat kepemilikan atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, dan (7) menghukum Tergugat membayar biaya perkara.

Kamaruddin menyatakan bahwa kliennya sangat tegar dan tegas, meskipun di fitnah dan dikriminalisasi. Ike tidak pernah berhenti menyurati Polri dan institusi lainnya meminta penegakkan dan perlindungan hukum karena dirinya tidak melakukan sumpah palsu atau melakukan pemalsuan dokumen.

“Surat-surat kami masih belum mendapatkan respon positif dari pihak Polri, mungkin mereka masih sibuk kasus Ferdy Sambo,” jelas Ike.

Kamaruddin menambahkan bahwa putusan pengadilan adalah produk negara, dikeluarkan oleh lembaga yuridis yang sah. Putusan tersebut harus dipatuhi oleh pengembang PT EPH, karena itu putusan negara. “Jadi kalau tidak mau patuh pada keputusan negara Republik Indonesia, saya persilahkan untuk keluar saja dari Indonesia,” tegasnya.

Pada 18 Januari lalu, Ike didampingi Kamaruddin mendatangi Unit 5 Jatanras Direskrimum PMJ untuk memberikan klarifikasi, tambahan bukti, dan mempertanyakan status tersangka dan DPO-nya. Pihak kepolisian tak mampu memberikan jawaban yang jelas untuk pertanyaan yang diberikan.

Seharusnya sejak 18 Januari 2023 PMJ harus memperbarui laman websitenya, tapi hingga 20 Januari 2023 ternyata status DPO Ike tak kunjung dicabut dari laman milik PMJ. “Tidak dicabutnya status DPO Ike mencerminkan bahwa sistem informasi teknologi PMJ masih tertinggal. Terlambatnya sistem tersebut dapat berdampak pada pelanggaran HAM dan Perkap nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Tak seharusnya Ike memohon hal sedasar hak mendapatkan kenyamanan untuk hidup atas kelalaian dari pihak PMJ. Mengkhianati dan mempermainkan hukum serta mengkriminalkan orang yang tidak bersalah harus segera dihentikan agar tidak ada lagi masyarakat yang dirugikan dan dijadikan korban,” tukasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan