Jakarta, innews.co.id – Pemberian abolisi kepada Tom Trikasih Lembong dan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto oleh Presiden Prabowo Subianto bisa menjadi preseden buruk di masyarakat. Pasalnya, mereka yang diberi abolisi dan amnesti adalah terpidana kasus korupsi yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Seperti diketahui, Tom Lembong tersangkut kasus dugaan korupsi impor gula yang telah divonis 4,5 tahun. Sementara Hasto Kristiyanto dihukum 3,5 tahun karena dianggap terlibat dalam pemberian suap terkait penggantian antar-waktu Harun Masiku.
“Pemberian abolisi dan amnesti ini bisa jadi preseden buruk bagi Presiden Prabowo karena keduanya sama-sama tersangkut kasus korupsi,” kata praktisi hukum Dr. Sawoung Pradipta Suryodewo, dalam pernyataannya, di Jakarta, Sabtu (2/8/2025).
Sawoung melanjutkan, hal tersebut dapat menimbulkan dugaan apakah kedekatan dan dukungan politik dapat mempengaruhi seseorang untuk dilakukan pemeriksan, penangkapan yang kemudian diberikan suatu pengampunan.
“Di satu sisi, pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif Presiden, sesuai UUD 1945 Pasal 14. Namun, harus dipahami bahwa korupsi itu termasuk pada extra ordinary crime, bukan kriminal biasa,” tukasnya.
Dia menambahkan, sebagai warga negara Indonesia yang sebentar lagi akan memperingati kemerdekaannya, kita masih harus terus optimis bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang harus dihapuskan dengan menjunjung prinsip equality before the law.
“Tidak ada seorang pun yang kebal hukum atau diperlakukan berbeda dalam penegakan hukum,” tegasnya.
Setiap warga negara, lanjutnya, memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum, tanpa memandang status sosial, ekonomi, ras, agama, atau latar belakang lainnya.
Hak prerogatif
Lebih jauh Founder Kantor Hukum ASK Law ini menguraikan, melalui Surat Presiden Nomor R-42/Pres/072725 tanggal 30 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto telah menggunakan dua bentuk hak prerogatifnya berkaitan dengan penghapusan akibat hukum pidana yang kemudian DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R43/Pres072025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi, sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 “…bahwa keputusan ini tidak dapat diambil secara sepihak tanpa mekanisme check and balance dari lembaga legislatif”. Serta Pasal 1 UU 11/1954 “…Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman”.
Diterangkan, abolisi diberikan kepada seseorang yang sedang menjalankan proses hukum di pengadilan atau sudah diputus pengadilan, yang oleh presiden perbuatan pidananya dihapuskan sehingga orang tersebut (terdakwa, terpidana) dibebaskan karena tindak pidananya dihapuskan (alasan penghapus pidana).
Sedangkan amnesti merupakan hak yudikatif Presiden untuk menghentikan terpidana dalam menjalankan proses pidana. Jadi, dalam amnesti ini bukan menghapuskan perbuatan pidananya tetapi pidananya dihentikan sehingga orang tersebut pun dibebaskan dari proses menjalankan pidana.
Aktifis muda ini juga menerangkan, konsep pengampunan seperti amnesti, abolisi dan rehabilitasi sudah ada sejak jaman kerajaan, di mana raja mengambil keputusan untuk menyelesaikan permasalahan di bidang hukum.
Ketika bukan lagi menganut sistem monarkhi, konsep tersebut tetap diadopsi yang kemudian haknya diberikan kepada Kepala Negara. (RN)












































