Analis Polkam Sapta Siagian Minta Caleg Haramkan Politik Identitas

Analis Politik dan Keamanan Dr Sapta Baralaska Siagian

Jakarta, innews.co.id – Para calon legislatif dan politik diminta tidak menggunakan politik identitas sebagai materi kampanyenya jelang Pemilu 2024. Hal tersebut dengan lantang disuarakan Analis Politik dan Keamanan Dr Sapta Baralaska Siagian.

Sapta mengajak semua pihak untuk belajar dari Pemilu 2014, 2019 dan juga pilkada yang digelar di beberapa daerah, termasuk di Jakarta tahun 2017,yang membuat masyarakat terbelah.

“Politik identitas di Indonesia merujuk pada praktik yang didasarkan pada identitas etnis, agama, gender, dan orientasi seksual. Hal ini semakin terlihat dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam konteks pemilihan umum dan kampanye politik,” ujar Sapta, dalam keterangan persnya yang diterima innews di Jakarta, Senin (4/9/2023).

Menurutnya, politik identitas di Indonesia merupakan fenomena yang kompleks dan terus berubah seiring dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia.

Dosen Pasca Sarjana Filsafat Politik ini mencontohkan, politik identitas yang paling terkenal di Indonesia adalah penggunaan agama sebagai dasar kampanye. Disinyalir, banyak calon politikus yang mencoba untuk memenangkan suara pemilih dengan mengidentifikasi diri mereka dengan agama tertentu atau mengeksploitasi isu-isu keagamaan. Menurutnya, hal tersebut dapat mengakibatkan polarisasi masyarakat dan meningkatkan ketegangan antar kelompok agama.

Tak hanya agama, sambungnya, identitas etnis juga sering digunakan sebagai dasar kampanye politik. Ada beberapa partai politik di Indonesia yang secara terbuka menyatakan bahwa mereka mewakili kepentingan etnis tertentu. Di satu sisi hal ini bisa memperkuat solidaritas dalam kelompok etnis, tetapi juga dapat memicu sentimen kebencian terhadap kelompok lain.

Selain itu, Sapta mengemukakan, politik identitas di Indonesia juga mencakup isu-isu gender.

Dari telaahnya, Sapta menilai, latar belakang politik identitas yang terjadi di Indonesia, sejatinya sudah ada di masa kolonialisme, di mana kebijakan pemerintah kolonial Belanda membagi-bagi masyarakat Indonesia berdasarkan identitas etnis dan agama.

“Ketika itu, pemerintah kolonial membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga kelompok: pribumi, pendatang, dan orang-orang Eropa. Pribumi sendiri kemudian dibagi lagi berdasarkan etnis dan agama, seperti Jawa, Sunda, Muslim, Hindu, dan sebagainya. Setelah kemerdekaan Indonesia, praktik politik identitas masih terus berlanjut dalam berbagai bentuk, meskipun di bawah konsep nasionalisme yang menekankan persatuan,” beber Alumni Lemhannas RI Tahun 2016 ini.

Baginya, politik identitas tidak bisa dijadikan pola atau dasar untuk mencapai demokrasi yang sesungguhnya, karena politik identitas tidak akan membawa dalam tujuan kesatuan dan kebersamaan.

Dia beranggapan, moderasi beragama dengan semangat pluralisme merupakan sebuah kenyataan yang seharusnya dapat menjadi sumber kekuatan politik untuk membangun sistem demokrasi dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara. Karenanya, penguatan ideologi Pancasila menjadi keniscayaan yang harus segera dilakukan oleh negara.

Sapta melanjutkan, penting bagi masyarakat untuk menghargai keragaman dan memahami bahwa identitas tidak boleh digunakan untuk memecah belah masyarakat dan memperkuat kepentingan politik individu atau kelompok tertentu. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan