Ketua Denas SETARA Sebut Pemilu 2024 Kental Politik Tuna Etika

Hendardi Ketua SETARA Institute

Jakarta, innews.co.id – Ada kecenderungan para politisi dan elit partai memainkan politik tuna etika mendekati Pemilu 2024 ini.

Hal tersebur secara lugas dikatakan Hendardi, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, dalam siaran persnya yang diterima innews, di Jakarta, Jumat (21/7/2023).

Hendardi menilai, peragaan politik elit dan politisi semakin jauh dari etika, moralitas, dan ideologi kebangsaan, sebagaimana diajarkan para founding people Indonesia. Dari mulai presiden hingga politisi sekelas Budiman Sujatmiko, sebagai salah satu anak asuh Jokowi, sama-sama menunjukkan gejala yang sama.

Dia melihat, pragmatisme tanpa ideologi mendasari sejumlah manuver Jokowi, melalui para anak asuhnya, yang hanya mempertegas level kenegarawanan dan kepemimpinan Jokowi semata-mata untuk menjadikan dirinya sentrum kontestasi politik, sehingga memetik insentif kekuasaan pascakepemimpinannya berakhir.

“Meski bukan ketua parpol, Jokowi terus memainkan bidak catur politik dan menimbang kekuatan politik mana yang akan melindungi dirinya dan memastikan tetap memberi tempat baginya kelak,” ujar Hendardi.

Harusnya, sebagai petugas partai yang dipercaya rakyat memimpin, level Jokowi meningkat menjadi seorang negarawan dan tetap mempedomani etika politik dan kepemimpinan serta etika kepartaian darimana dirinya berasal.

Diakuinya, migrasi politik adalah kewajaran dalam berpolitik. Bahkan migrasi ideologis juga muncul di kalangan elit Nasdem saat mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres. “Mereka yang mundur (dari NasDem) lebih didasari oleh argumen ideologis yang tidak sejalan dengan Anies, yang oleh sebagian orang dianggap menapaki karir politik dengan mengeksploitasi identitas agama,” bebernya.

Meski begitu, belakangan ini migrasi pilihan politik justru tampak lebih didasari oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis dan imajinasi elektabilitas yang disajikan lembaga survei.

Dikatakannya, sentrum Prabowo Subianto yang kesannya dikerubuti oleh beberapa jenderal yang dulu menentangnya, bahkan menjadi pengadil pada sidang yang memberhentikan Prabowo dari jabatan dan dinas militer, melengkapi panorama pragmatisme dan praktik politik tanpa ideologi. Bahkan mereka yang dulu diculik dan dipenjarakan melalui suatu operasi khusus, justru memuji dan bersimpuh pada Prabowo. Stockholm sydrome tampak menjelaskan fenomena ini.

“Posisi dan magnet Prabowo saat ini tentu bukan contoh terbaik bagi anggota TNI yang masih berdinas atau yang mengakhiri tugas dengan prestasi. Capaian Prabowo saat ini ditopang oleh masyarakat yang lupa, tidak memetik sejarah sebagai pembelajaran dan ditopang oleh Presiden aktif yang semakin cemas tidak memiliki pengaruh,” sebut Hendardi. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan