KPAI Minta Stop Eksploitasi Anak di Masa Kampanye

Semua pihak yang terlibat dalam Pemilu 2024 harus mengawasi keterlibatan anak dalam kampanye

Jakarta, innews.co.id – Anak-anak masih kerap dilibatkan pada kegiatan perpolitikan, terutama jelang Pemilu 2024. Selain menerima 6 laporan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat ada 19 kasus lainnya, yang diberitakan oleh media maupun yang beredar di beberapa platform media sosial.

“Sekitar 46 hari masa kampanye tergambar masih lemahnya kepedulian untuk: memajukan dan memenuhi hak anak, menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak; sekaligus lemahnya komitmen untuk melindungi anak dari berbagai bentuk penyalahgunaan dan eksploitasi politis sebagaimana telah ditegaskan dalam Surat Edaran Menteri PPPA, Menteri Dalam Negeri, Ketua KPAI, Ketua KPU dan Ketua Bawaslu RI, tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 yang Ramah Anak,” kata Komisioner KPAI Sylvana Apituley, dalam keterangan persnya yang diterima innews, di Jakarta, Rabu (17/1/2024).

Komisioner KPAI, Slyvana Apituley

KPAI mencatat berbagai bentuk pelanggaran antara lain:

  1. Menjadikan anak sebagai ‘target antara’ kampanye dengan cara membagi-bagikan benda/barang yang tidak termasuk sebagai alat kampanye.

  2. Menggunakan (foto/profil berwajah) anak untuk iklan kampanye.

  3. Menjadikan anak sebagai juru kampanye lewat video yang disebarkan di berbagai platform medsos, maupun langsung.

  4. Menjadikan anak sebagai pelaku politik uang.

  5. Mengarahkan anak untuk mengingat dan mempromosikan capres tertentu.

  6. Menjadikan tempat pendidikan sebagai target kampanye.

  7. Pemanfaatan ruang dan kreatifitas komunitas digital secara kurang selektif.

  8. Pendidikan politik dan kewargaan yang tidak tepat.

  9. Partisipasi anak yang belum sesuai dengan prinsip dan bentuk ideal partisipasi anak.

  10. Membawa anak ke arena kampanye dan mengenakan atribut kampanye kepada anak, terutama saat rapat umum (ini kasus terbanyak).

Sylvana menerangkan, kebanyakan anak-anak yang menjadi korban penyalahgunaan dan eksploitasi politik berusia 3-17 tahun.

Sementara individu dan lembaga yang melakukan pengabaian terhadap hak anak di masa kampanye cukup beragam yakni, orangtua sendiri, guru, orang dewasa di sekitar anak yang memfasilitasi produksi video-video kampanye negatif maupun kampanye yang mendorong pilihan capres, calon anggota legislatif, tim sukses, ketua partai politik, hingga calon presiden/calon wakil presiden.

“Kasus-kasus yang dicatat oleh KPAI tersebut adalah eksploitasi dan penyalahgunaan anak dalam aktivitas politik dan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28B ayat 2, ‘Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’. Juga UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 280 ayat 2 huruf k, yang menyebutkan, ‘Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih’, serta PKPU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum yang melarang pelibatan anak dalam kampanye,” terangnya.

Secara khusus juga bertentangan dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 15a, “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik”. Lainnya, UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 11, “Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkreasi dan berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”.

KPAI berpendapat bahwa pengabaian perspektif hak anak dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam demokrasi dan politik elektoral ini berdampak negatif bagi proses tumbuh kembang fisik, mental, dan karakter anak, meresikokan kesehatan dan keselamatan anak, serta mengurangi secara signifikan kualitas dan mutu demokrasi dan politik Indonesia.

“KPAI mendorong setiap orang dewasa yang aktif menggunakan hak politiknya sebagai warga negara yang baik agar menggunakan perspektif hak anak dan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh prinsip kepentingan terbaik bagi anak,” ujar Sylvana.

Tak hanya itu, KPAI juga mendesak para tokoh politik, pimpinan dan pengurus partai politik, calon anggota legislatif, tim sukses para calon, serta semua paslon presiden dan wakil presiden, agar berhenti menjadikan anak sebagai objek dan tidak memosisikan anak sebagai target kepentingan politik elektoral.

Sebaliknya, para tokoh politik dan individu, partai politik peserta pemilu, penyelenggara pemilu, maupun kelompok civil society yang relevan, untuk segera memperbaiki kurikulum dan metode pendidikan politik dan kewargaan bagi anak pemilih pemula, dengan antara lain: mematuhi prinsip-prinsip partisipasi anak yang sesuai dengan hak-hak anak, serta memfasilitasi bentuk partisipasi anak yang ideal.

“Hanya dengan pengarusutamaan hak anak dan dengan menggunakan pendekatan kepentingan terbaik bagi anak yang tepat, kita dapat mengurangi dan menghapus praktik penyalahgunaan dan eksploitasi anak yang umum terjadi saat pemilu/pileg dan pilkada di Indonesia. Serta dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan mutu dari proses maupun hasil demokrasi dan politik elektoral di Indonesia,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan