Jakarta, innews.co.id – Tanah seluas hampir 2.000 hektar eks Perkebunan Kalibakar, Kabupaten Malang, Jawa Timur, menjadi persoalan pelik yang belum berujung. Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan, coba menjembatani penyelesaian tersebut dengan memanggil para pihak, di Gedung Media Center, Kemenko Polhukam, Jakarta, hari ini.
“Hak guna usaha (HGU) tanah di Kalibakar yang selama ini dikuasai oleh PTPN XII (sekarang PTPN I Regional 5), telah berakhir sejak 2013 lalu. Artinya, tanah tersebut harus dikembalikan ke negara. Yang perlu dibenahi adalah bagaimana penyelesaian aset negara ini,” kata Kuasa Hukum Paguyuban Warga Kalibakar Alam Prawiranegara, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Rabu (26/6/2024).
Menurutnya, karena itu tanah negara, maka masyarakat Kalibakar memohonkan haknya sebagai warga negara Indonesia untuk dapat mengelola tanah tersebut. “Soal peletakkan hak kepada masyarakat itulah yang harus dicarikan solusinya,” lanjut Alam.
Modelnya, sambung Alam, bukan kemitraan karena sudah tidak ada lagi hak PTPN I Regional 5 disitu.
Dijelaskan, berkaca pada PP 18 tahun 2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, maka Kementerian ATR/BPN bisa memberikan hak kepada masyarakat karena muaranya untuk kesejahteraan masyarakat juga. Di sisi lain, negara juga tidak kehilangan muka, karena tanah itu memang milik negara. Sementara masyarakat bisa mendapatkan haknya untuk mengelola tanah tersebut. “Selama ini warga Kalibakar sudah sejahtera tanpa ada PTPN,” imbuhnya.
Tak hanya itu, Alam Prawiranegara meminta Kementerian ATR/BPN bisa turun langsung ke masyarakat dan melihat kondisi riil di sana. “Selama ini ATR/BPN hanya melihat di kulit-kulitnya saja, tidak sampai ke dalam dan berdialog dengan masyarakat,” ungkap Alam yang juga pendiri Indonesia Feminist Lawyers Club (IFLC) ini.
Dengan kritis, Alam menegaskan, “Kalau Palestina nun jauh di sana saja bisa kita bantu, kenapa warga Indonesia sendiri yang kehilangan haknya tidak bisa? Kita harus jujur untuk masalah tersebut”.
Dirinya mengajak semua pigak untuk berjalan pada koridor hukum yang berlaku saja. “Gak usah miring ke kanan dan ke kiri. Lurus saja kita ikuti koridor hukum yang ada. Kalau memang hak pengelolaan sudah berakhir ya sudah, silahkan diserahkan ke negara dengan baik-baik. Bukan malah bersikeras merasa itu miliknya,” seru Alam yang kerap membela kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan masyarakat adat ini.
Alam Prawiranegara memilih semua pihak duduk bersama, tanpa harus warga turun berdemo. “Saya mengajak semua pihak untuk membuka hati dan bertanya apa yang menjadi keinginan masyarakat. Saya yakin, kalau para stakeholder turun ke bawah, maka akan bisa berjalan beriringan dengan warga Kalibakar. Berikan apa yang memang menjadi hak masyarakat sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” pintanya.
Mediasi
Acara tersebut dihadiri selain dari pihak Kemenko Polhukam, juga oleh Kementerian ATR/BPN, Kepala Kanwil ATR/BPN Jawa Timur, pejabat peremintah di Kalibakar, perwakilan masyarakat, dan Tim Kuasa Hukum Paguyuban Masyarakat Kalibakar.
Sementara itu, Sesdep Kedeputian Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam, Brigjen Pol. Puja Laksana yang memimpin pertemuan tersebut meminta agar persoalan ini bisa segera diselesaikan. “Semua pihak harus sama-sama berpola pikir bahwa ini untuk kemaslahatan masyarakat luas. Kalau demikian, saya yakin masalah ini akan bisa cepat diselesaikan. Kalau perlu dalam hitungan hari sudah bisa tuntas,” pintanya.
Pada bagian lain, Kepala Bidang Sengketa dan Konflik Pertanahan Kanwil BPN Jawa Timur Eko Prianggodo menjelaskan, sebelum reformasi, sekitar 80% warga Kalibakar bekerja di PTPN XII. Sejak 1997 masalah tanah ini terus berproses. Pada 2023 lalu, ada satu desa yakni, Bumirejo yang telah membuat perdamaian (islah), di mana masyarakat berkeinginan bisa menggarap dengan aman dan tidak digusur. Perdamaian tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian dengan pihak PTPN.
“Hasil rapat dengan Kemenko Polhukam perlu diundang dari Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan sebagai stakeholder dari perusahaan BUMN. Nanti kita akan tindaklanjuti,” bebernya.
Sementara Muh. Hatta, A.Ptnh., Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Malang menguraikan, pihak BPN Kabupaten Malang telah coba memediasi antara para pihak dalam masalah tersebut. “Keinginan PTPN XII untuk memperpanjang HGU sejak 2011 belum terealisasi karena ada masalah dengan warga. BPN sendiri mensyaratkan untuk perpanjangan, maka status tanah harus clear and clean,” urainya.
Mengenai keinginan warga Kalibakar agar tanah tersebut diserahkan kembali ke negara dan selanjutnya diberikan kepada masyarakat setempat untuk mengelola, menurut Hatta, tidak semudah itu karena kewenangan ada di Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan. BPN sendiri tidak memiliki kewenangan untuk pelepasan hak tersebut.
Lantas apa solusinya? “Telah lahir Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, khususnya di Pasal 45, di mana ada penyelesaian konflik terkait aset khususnya Kementerian BUMN. Ada beberapa opsi, antara lain, melalui perjanjian kerjasama antara PTPN dengan masyarakat. Tidak menutup kemungkinan juga masyarakat diberikan hak atas tanah, seperti HGU yang berada di atas hak pengelolaan. Dengan begitu aset negara tidak hilang. Di sisi lain kita memberi kepastian hukum kepada masyarakat. Kami menunggu rapat berikutnya,” terang Eko.
Ditegaskan, sekarang tergantung pada pemegang aset (Kementerian BUMN). “Bila masyarakat diberi hak pengelolaan, siklus awalnya 35 tahun, bisa diperpanjang 25 tahun dan diperbaharui lagi sampai 35 tahun kemudian. Kemudian bisa dibuatkan pengajuan lagi untuk siklus yang kedua. Itu pola penyelesaian sesuai aturan yang ada,” serunya.
Eko berharap, pemegang aset bisa menerima pola-pola yang diusulkan sehingga konflik bisa segera diakhiri. (RN)
Be the first to comment