Jakarta, innews.co.id – Tenggelamnya tiga kapal dalam rentang waktu dua minggu, telah mencoreng citra Indonesia sebagai negara maritim di mata dunia internasional.
Kapal yang tenggelam yakni, KMP Tunu Pratama Jaya, tengah berlayar dari Pelabuhan Ketapang menuju Pelabuhan Gilimanuk pada Rabu (2/7). Ada juga, KM Barcelona di Perairan Talise, Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Sulawesi Utara, pada Minggu siang (20/7). Lainnya, kapal boat yang membawa rombongan pegawai dan sejumlah anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), terbalik dalam perjalanan di Selat Sipora. Sekitar 10 orang yang dilaporkan hilang.
Di Juni 2025, kejadian kapal nahas juga terjadi pada KM Muchlisa yang tenggelam di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dan Kapal Tanker Federal II yang terbakar di Galangan Batam, Kepulauan Riau.
“Saya gak habis pikir, kenapa cuaca selalu menjadi alasan terjadinya kecelakaan kapal,” kata Ketua Umum International Maritime Organization (IMO) Watch, Capt. Dr. Anthon Sihombing, MM., M.Mar., di Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Perlu diketahui, topan taifun hanya berkisar di Filipina sampai Jepang, sekitar 62,3%. Jadi, tidak ada taifun di Indonesia. Dicontohkan, kalau terjadi taifun di Laut China, paling buntutnya ada di Laut Banda atau Laut Sulawesi, tapi tidak akan mencapai Selat Bali.

Dia menganalisis, tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya yang baru 24 menit lepas jangkar dari Pelabuhan Ketapang, itu dikarenakan kondisi kapal memang sudah tidak layak lagi. Kejadian tersebut, kata Anthon, merupakan warning bagi pemerintah, apalagi Pelabuhan di Bali kerap digunakan oleh turis-turis asing.
Disarankan bangkai KMP Tunu Pratama Jaya diangkat agar ketahuan jelas apa penyebab kecelakaan, begitu juga dengan KM Barcelona.
“Kementerian Perhubungan harus mengambil langkah tegas, melakukan evaluasi agar kejadian tersebut tidak terulang kembali,” ujarnya.
Berkaca pada pengalamannya sebagai Nakhoda di sejumlah kapal yang berlayar di lautan internasional, Anthon mengerti betul bagaimana sebuah kapal dikatakan layak berlayar (seaworthiness). “Jangan soal cuaca saja yang dijadikan kambinghitam. Sepanjang kapal layak berlayar, cuaca masih bisa diatasi,” tukasnya.
Dia menilai, sejak era reformasi, Presiden RI tidak pernah memilih orang yang tepat untuk duduk sebagai Menteri Perhubungan. Padahal, itu posisi vital yang butuh orang yang benar-benar berpengalaman. “Yang terbilang lumayan jadi Menhub adalah Ignasius Jonan, selebihnya hanya pencitraan saja,” ucapnya.
Anthon meminta Presiden Prabowo mengevaluasi kinerja Kementerian Perhubungan, khususnya Dirjen Perhubungan Laut. Juga mengganti Kepala Syahbandar dan KSOP, di mana terjadi kecelakaan kapal.
Dirinya juga mengusulkan agar pemerintah meratifikasi peraturan IMO, badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk mengatur dan mengoordinasikan pelayaran internasional, dengan fokus pada peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran serta pencegahan pencemaran laut oleh kapal.
Ditambahkan, ada Konvensi SOLAS (Safety of Life at Sea) yakni, peraturan standar keselamatan internasional untuk kapal dan pelaut, yang bisa diadopsi.
Citra bangsa tercoreng
Bagi Anthon, kejadian kecelakaan kapal mencoreng citra Indonesia di mata internasional.

Dirinya juga mengusulkan agar pemerintah mengevaluasi keagenan kapal asing yang menggunakan kru orang Indonesia. “Banyak kru orang Indonesia seperti ‘ditindas’ saat kerja di kapal-kapal asing,” ungkapnya.
Lebih jauh Anthon mendorong agar dimaksimalkan peran Mahkamah Pelayaran untuk melakukan investigasi terhadap terjadinya kecelakaan kapal.
Harus diakui, kata Ketua Umum Ikatan Nakhoda Niaga Indonesia (INNI) ini, kondisi pelayaran di Indonesia sangat ironis dan butuh pembenahan.
Anthon mendorong evaluasi secara menyeluruh kondisi pelayaran di Indonesia sehingga angkutan laut menjadi aman dan terpercaya. “Pemerintah harus bekerja keras untuk membenahi hal tersebut,” pungkasnya. (RN)












































