Jakarta, innews.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai cenderung hanya mengejar kredit poin dalam menyelesaikan kasus dugaan gratifikasi dengan tersangka Lukas Enembe, Gubernur Papua non-aktif dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Hal tersebut nampak dengan begitu ketatnya perlakuan yang diberikan kepada Lukas Enembe. Padahal, jelas-jelas semua hasil pemeriksaan medis menyatakan bahwa Lukas dalam keadaan sakit yang begitu parah.
“Sudah jelas Lukas punya penyakit macam-macam yang kronis, tapi tetap saja dipaksakan untuk masuk tahanan. Memangnya kalau dirawat di rumah, Lukas mau kabur? Sementara dia sendiri jalan saja sudah susah, kaki bengkak, dan sebagainya,” kata Prof OC Kaligis, Kuasa Hukum Lukas Enembe, kepada innews, di Jakarta, Kamis (13/7/2023).
Dikisahkan, sudah banyak pengalaman penanganan hukum terhadap orang yang sudah jelas-jelas sakit kronis yang ditandai dengan hasil pemeriksaan medis dari pihak yang berwenang, bisa dilakukan di rumah. “Kalaupun rumah itu harus dijaga oleh aparat, misalnya, silahkan saja. Tapi suasana rumah tentu berbeda dengan keadaan di sel,” terang OC Kaligis.
Pembantaran Lukas yang hanya satu minggu di RSPAD, lantas dikembalikan lagi ke penjara, padahal masih dalam kondisi sakit, menunjukkan bahwa KPK telah mengabaikan hak asasi seseorang untuk sembuh. “Mungkin yang dibenak KPK hanya bagaimana agar Lukas dipenjara saja. Bahkan KPK sampai harus ‘merampok’ paspor anaknya Lukas sehingga tidak bisa melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Ini kan sudah ngaco semua, yang berperkara jelas-jelas hanya Lukas, kenapa sampai anaknya yang dikorbankan? Keluarganya benar-benar dibuat terpuruk. Semua serba dipaksakan,” seru OC Kaligis.
Bayangkan, hanya untuk perkara Lukas saja sampai dihadirkan 188 saksi dengan 1.024 barang bukti. “Tujuan penahanan itu untuk pemeriksaan, bukan mempercepat kematian seseorang. Tapi apa yang dilakukan oleh KPK ini justru berpotensi bikin orang cepat mati. Apa memang begitu?” tandasnya.
OC Kaligis mengaku khawatir kalau saat sidang tiba-tiba Lukas drop, bahkan sampai meninggal. “Kalau itu terjadi, jelas ini kesalahan KPK yang memaksakan penahanan dan mengakibatkan seseorang harus kehilangan nyawanya,” tegasnya.
Dia menjelaskan, sampai hari ini Lukas tidak pernah menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP). Lukas menganggap dakwaan yang diberikan padanya itu tipu-tipu belaka.
OC Kaligis juga menilai, KPK sudah memakai media-media untuk melakukan penggiringan opini publik. Dia contohkan soal emas yang ada gambar Lukas. “Kalau ada emas di Papua yang tidak aneh. Kalaupun Lukas punya tambang emas, apa itu salah? Mengingat dirinya memang tokoh adat di Papua. Tapi media-media menggiring seolah-olah emas dengan gambar wajah Lukas menjadi alat pembayaran yang sah di Papua. Ini kan menyesatkan,” tuturnya.
Bagi OC Kaligis, apa yang dilakukan KPK terhadap Lukas adalah contoh dari character assassination (pembunuhan karakter). Dalam hukum internasional dikenal istilah ‘Not Fit to Stand Trial’ (tidak layak untuk diadili). “Seperti yang terjadi pada Soeharto, ketika sakit diizinkan dirawat di rumah dan baru diadili ketika sudah benar-benar dinyatakan sembuh. Begitu juga Bustanul Arifin, dimungkinkan kok di rawat di rumah. Kenapa Lukas tidak? Ini kan namanya diskriminasi,” cetusnya.
Dengan lugas OC Kaligis mengatakan, yang berlaku di kasus Lukas Enembe adalah teori kekuasaan, bukan teori keadilan. “Apapun juga kondisinya, kami sebagai kuasa hukum Lukas akan berjuang untuk mencari keadilan sekalipun harus berhadapan dengan kekuasaan,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment