Jakarta, innews.co.id – Dipilihnya Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani memunculkan berbagai anggapan.
Pengamat ekonomi Dr. John Palinggi menegaskan, kalau soal kurangnya jam terbang Menkeu yang baru, khususnya di level internasional, itu bisa menyesuaikan.
Hanya saja, yang diharapkan adalah efisiensi keuangan negara harus dicapai dengan baik. Demikian juga harus ada transparansi terkait hutang-hutang negara kepada lembaga keuangan luar negeri, berapa penyertaan modal negara ke BUMN, juga berapa hutang diluar sistem keuangan negara, dan lainnya. “Semua harus dibuka dan dipetakan secara jelas, agar ada solusi konkrit,” seru John Palinggi, di Jakarta, Kamis (18/9/2025).
Dirinya mengkritisi berita yang beredar bahwa 7 bulan lalu katanya jumlah hutang Indonesia Rp 8.100 triliun, tapi tiga minggu dikatakan mencapai Rp 10.236 triliun. Apa benar melonjak sebesar itu hutang luar negeri Indonesia?
John menyitir ucapan Deng Xiaoping–tokoh terpenting dalam sejarah modern China, “Gak penting kucing putih atau kucing hitam. Yang penting bisa nangkap tikus”.
Baginya, untuk apa kucing putih kalau bisanya hanya ngeong saja, sementara rakyatnya beli beras saja susah.
BLBI Jilid II?
Terkait dana Rp 200 triliun yang digelontorkan Menkeu kepada 5 bank pemerintah, sehari setelah dirinya dilantik, mengundang kekhawatiran berbagai pihak. Masyarakat khawatir, kembali berulang kasus BLBI jilid II.
Seperti diketahui, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terjadi pada Desember 1998, di mana BI menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Kesimpulan hasil audit BPK telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
“Pada periode 1998-2000, terjadi kredit macet Rp 450 triliun dan hanya Rp 139 triliun yang bisa diselamatkan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Lalu, muncul BLBI sebesar Rp 147,7 triliun dan bisa diselamatkan Rp 30 triliun diselamatkan. Dilanjutkan, tahun 2000 muncul Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang menyalurkan dana sebesar Rp 650 triliun diberikan oleh Bank Indonesia (BI) kepada bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR), tapi sampai sekarang tidak tahu kemana rimbanya,” papar Ketua Umum Asosiasi Mediator Indonesia (Amindo) ini.
Diingatkan, jangan sampai menggelontorkan uang negara, seperti penyertaan modal kepada BUMN yang tidak tahu hutan rimbanya. “Selama ini hutang-hutang BUMN tidak pernah diumumkan. Yang terjadi, di luar APBN atau R-APBN, banyak kementerian-kementerian minta tambahan anggaran yang nilainya cukup fantastik. Jangan sampai, pola-pola seperti ini ibarat mau menusuk Bapak Presiden dari belakang. Hati-hati!” tukas John yang juga pernah menjadi Pengajar di Lemhanas RI ini.
Ditegaskan, jangan sampai kucuran dana Rp 200 triliun justru terarah hanya untuk membiayai proyek-proyek orang tertentu yang sudah lama bersinggungan dengan Menkeu sebelumnya. (RN)












































