Jakarta, innews.co.id – Ahli hukum dan ekonomi membedah kehadiran Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara (BP BUMN), sebagai pengganti Kementerian BUMN), dalam webinar bertajuk “Reformasi atau Replikasi? Menguji Arah Baru BP BUMN”, yang diinisiasi oleh Policy+, Senin (20/10/2025).
Kehadiran BP BUMN merupakan bagian dari reformasi Kementerian BUMN sejalan dengan UU Nomor 16 Tahun 2025.
Para ahli menyatakan bahwa reformasi tersebut menandai pemisahan fungsi antara BP BUMN sebagai regulator dan BPI Danantara sebagai pengelola aset serta investasi negara.
Langkah tersebut dinilai sebagai upaya memperkuat tata kelola dan efisiensi korporasi negara. Namun, memunculkan pertanyaan apakah perubahan ini akan menghadirkan lembar baru bagi BUMN dalam membangun sistem pertanggungjawaban yang lebih transparan atau hanya replikasi struktur lama?

Pertanyaan ini beralasan mengingat BUMN masih menghadapi tantangan struktural, mulai dari inefisiensi operasional, tumpang tindih mandat antar-entitas, hingga peran ganda pemerintah sebagai pemegang saham sekaligus regulator sering kali menimbulkan konflik kepentingan.
“Ada 12 perubahan signifikan dalam UU ini, mulai dari pembentukan BP BUMN, pengalihan saham, hingga penataan ulang holding investasi dan operasional. Tapi yang paling krusial adalah ketika 100 persen kepemilikan holding berada di bawah Danantara. Ini membawa konsekuensi terhadap status hukum BUMN dan peran BPK sebagai auditor negara. Konsistensi hukum dan kejelasan batas kewenangan menjadi kunci agar reformasi ini tak justru membuka ruang abu-abu baru,” kata praktisi hukum dan Partner Dentons HPRP, Andre Rahadian, SH., LL.M., dalam siaran persnya, di Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Dia menilai bahwa reformasi kelembagaan ini patut diapresiasi dari sisi keberanian pemerintah melakukan reposisi peran. Namun, diingatkan bahwa perubahan cepat tanpa kejelasan struktur hukum justru dapat menciptakan ketidakpastian baru.
“Kita perlu memastikan agar perubahan ini tidak memperlambat birokrasi, melainkan mempercepat pengambilan keputusan yang akuntabel. Karena pada akhirnya yang diukur adalah kecepatan dan kejelasan dalam pelaksanaan,” tambahnya.
Sementara itu, Jahen F. Rezki, Wakil Direktur LPEM FEB UI, menilai bahwa pemisahan fungsi antara regulator dan operator merupakan momentum penting untuk memperjelas mandat BUMN. Namun, ia mengingatkan bahwa efektivitasnya bergantung pada sejauhmana implementasi dilakukan secara disiplin dan konsisten.
“Kita harus memastikan pembagian tanggung jawab antara BP BUMN dan Danantara tidak menimbulkan tumpang tindih. Governance credibility menjadi kunci, siapa yang memegang mandat regulasi, siapa yang bertanggung jawab secara operasional. Kalau tidak ada panduan yang jelas, tumpang tindih kewenangan bisa membuat kebijakan kontraproduktif. Kita ingin BP BUMN menjadi pengarah kebijakan yang kuat, bukan sekadar lapisan birokrasi baru,” imbuhnya.
Jahen juga menekankan dalam konteks strategi ekonomi nasional, pemerintah perlu lebih selektif dalam menentukan sektor mana yang memang layak digarap BUMN. “Kita tidak harus unggul di semua sektor. Fokuslah pada bidang yang benar-benar strategis dan yang memang membutuhkan kehadiran negara, seperti energi, infrastruktur, atau layanan publik. Untuk sektor yang bisa dilakukan lebih efisien oleh swasta, biarkan pasar bekerja. Itu justru akan memperkuat daya saing dan mendorong inovasi,” lanjutnya.
Menanggapi berbagai pandangan tersebut, Raafi Seiff, Direktur Policy+, menegaskan bahwa reformasi BP BUMN harus sejalan dengan penguatan good corporate governance secara menyeluruh.
“Dalam konteks investasi, komunikasi adalah kunci. Tapi pada akhirnya, semuanya kembali pada satu hal, yaitu good governance. Tidak ada korupsi, tidak ada nepotisme. Ini yang kita harapkan. Kita harus memastikan BUMN berdiri di atas pijakan yang kredibel, karena tata kelola yang bersih bukan hanya hal yang benar dilakukan, tetapi juga sinyal kuat bagi investor bahwa Indonesia bisa dipercaya,” tutup Raafi.
Para pakar sepakat bahwa keberhasilan reformasi BP BUMN akan bergantung pada konsistensi regulasi, transparansi informasi, dan pengawasan yang independen, bukan sekadar perubahan nomenklatur. Pemerintah diharapkan mampu memastikan sinergi antar-regulator sektoral, menjaga kepastian hukum, serta menegakkan prinsip good governance agar reformasi ini benar-benar memperkuat peran BUMN sebagai penggerak ekonomi nasional.
Dengan dukungan kebijakan yang stabil dan tata kelola yang bersih, transformasi ini diharapkan tidak hanya menciptakan efisiensi dan profesionalisme baru di tubuh BUMN, tetapi juga menjadikan korporasi negara lebih kompetitif di pasar global tanpa menambah lapisan birokrasi baru. (RN)













































