Jakarta, innews.co.id – Rencana revisi UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat oleh DPR RI, memberi harapan kedepan advokat akan semakin tertib dan berintegritas dalam membela hak-hak hukum kliennya.
Saat ini, UU Advokat telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) 2026.
Ada sejumlah masukkan dari advokat muda Dr. Sawoung Pradipta Suryodewo, terkait materi yang perlu mendapat atensi untuk direvisi.
“Saat ini, kita cukup prihatin dengan banyaknya Sarjana Hukum yang menjadi advokat tanpa dibekali dengan kemampuan cukup dan pemahaman akan kode etik advokat,” ujarnya, di Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Harus dipahami, lanjutnya, advokat adalah profesi terhormat yang dilindungi oleh UU. Bahkan, dikatakan advokat adalah profesi yang officium nobile (terhormat dan bermartabat).
Namun, yang terjadi saat ini, banyak orang begitu mudah menjadi advokat, dan tanpa perlu bergabung dengan organisasi advokat (OA). Bahkan, mereka mendirikan kantor sendiri dan mengiklankan jasa hukumnya di berbagai media sosial.
Founder Kantor Hukum ASK Law ini menjabarkan, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyatakan, advokat wajib menjalankan profesinya dengan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan profesi serta mematuhi kode etik.
Kemudian, Pasal 5 ayat (1) huruf c UU Advokat secara tegas melarang advokat untuk melakukan iklan atau promosi jasa hukum secara terbuka, sebagaimana diatur juga dalam Kode Etik Advokat Indonesia.
“Dari situ jelas, kalau ada advokat yang tidak memahami aturan dan hantam kromo saja, demi untuk mendapatkan klien,” serunya.
Menurutnya, hal tersebut harus dipertegas, bisa berupa sanksi bagi siapa yang melanggar aturan tersebut.
Imunitas dan single bar
Selain itu, tak kalah penting mendapat atensi adalah bagaimana spirit single bar bisa dipertegas dalam revisi UU Advokat tersebut.
“Sudah terbukti, banyak advokat yang melanggar kode etik dan dikeluarkan dari organisasi. Namun, karena banyaknya OA, dengan mudahnya dia berpindah. Parahnya lagi, dipecat dari satu OA, sudah ditawari menjadi pengurus oleh OA lain,” urainya prihatin.
Bagi Sawoung, ini tentu akan menjadi kerugian besar bagi masyarakat pencari keadilan. “Bagaimana hukum mau benar kalau penegak hukumnya saja berperilaku seperti itu,” tegasnya.
Dirinya juga menyoroti hak imunitas advokat. Baginya, advokat harus terbebas dari kriminalisasi selama menjalankan tugas profesinya secara profesional, beritikad baik, dan sesuai koridor hukum.
“Hak imunitas adalah kunci bagi advokat untuk menjalankan tugas secara independen. Tanpa itu, advokat rentan terhadap intimidasi dan ancaman hukum yang dapat menghambat proses keadilan,” tukasnya.
Sawoung menegaskan, memiliki hak imunitas bukan berarti kebal hukum. Namun, advokat harus tetap menjalankan tugasnya secara etis. Akan tetapi, perlindungan terhadap advokat yang bekerja secara profesional adalah bagian dari memastikan penegakan hukum yang adil.
Dia berharap revisi UU Advokat bisa secara komprehensif menjawab berbagai persoalan yang ada, sekaligus mengikuti perkembangan zaman. (RN)













































