Jakarta, innews.co.id – Pernyataan Ketua PGLII DKI Jakarta, Pdt R.B. Rory di sejumlah media online, yang konon ingin menampik berita di beberapa media online terkait hasil pertemuan mediasi antara pihak Gereja Pelayanan Kristen (GPK) dan Gereja CMC dengan PGLII DKI Jakarta terkait polemik penerimaan dana bantuan operasional tempat ibadah (Boti), yang diinisiasi oleh Anggota Komisi E DPRD DKI Farah Savira serta dihadiri oleh Biro Dikmental Pemprov Jakarta, dinilai justru memperkeruh keadaan.
GPK dan CMC bergegas meluruskan pernyataan Rory, bahkan menganggapnya sebagai hoaks dan upaya pembelaan diri yang tak sesuai dengan faktanya.
Para pendeta yakni, Jianto, Gunawan Waldy, Tjun Mian, Imanuel Ebenhaeser Lubis, Jantje Palumbara, Anton Simanjuntak, mengadakan jumpa pers untuk memberi klarifikasi.
“Di media Pdt Rory mengatakan bahwa yang harus tunduk pada SOP hanya penerima Boti, sementara PGLII bersama lembaga aras gereja yang konon sebagai pembuat SOP tidak perlu tunduk. Padahal, jelas-jelas Ibu Farah meminta semua pihak tunduk pada SOP yang ada. Jadi, bukan hanya penerima Boti yang harus tunduk pada SOP, dua belah pihak harus tunduk. Termasuk Pdt Rory harus menerima dokumen gereja-gereja yang sudah lengkap dan menyerahkan ke Biro Dikmental untuk diproses Boti-nya, bukan malah di hold,” kata juru bicara para pendeta, Pdt Imanuel Lubis, di GPK CizPlaz, Jaktim, Selasa (29/7/2025).

Rory coba mengupas kejadian yang terjadi di tahun 2024, di mana Boti untuk gereja Anton Simanjuntak dan Jantje Palumbara tak kunjung cair. Padahal, kepada Palumbara, Rory sempat menyatakan gerejanya akan dapat. Ketika coba ditelusuri, konon datanya belum dikirimkan oleh PGLII DKI ke PGPI Jakarta selaku koordinator di tahun itu. Kedua pendeta tersebut akhirnya mendapat dari dana pribadi dari Ketua PGPI Jakarta.
“Saya sudah konfrontir lagi ke Pdt Rory dan dia tidak bisa jawab. Itu kan suatu kebohongan. Padahal, ketika itu saya melayani di GSJA EHM pimpinan Pdt Rory sendiri,” jelas Palumbara.
Dugaan kebohongan
Pernyataan Rory bahwa para pendeta sudah minta maaf saat bertemu di Ruang Rapat Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta, ditepis langsung. “Kami tidak pernah meminta maaf sama sekali,” seru Imanuel.
Kalaupun pihaknya menandatangani selang beberapa hari pasca pertemuan itu, lebih dikarenakan ada ancaman dari pihak PGLII.
“Ada banyak kebohongan dan fitnah yang disampaikan Pdt Rory. Karena itu, kami menantang Pdt Rory untuk debat terbuka terkait penyaluran dana Boti dan verifikasi gereja,” ucap Imanuel berapi-api yang diaminkan oleh para pendeta lainnya.
Demikian juga soal verifikasi kegiatan peribadahan. “Kalau benar melakukan verifikasi naik dong ke tempat ibadahnya, bukan berdiri saja di pinggir jalan dan membuat laporan yang tidak benar. Verifikasi macam apa itu?” tepis Imanuel kritis.
Verifikasi gereja
Disampaikan, para pendeta memiliki gereja aktif. Itu ditandai dengan SKTL yang dikeluarkan oleh Bimas Kristen Kementerian Agama DKI Jakarta.
“Kami selalu ada ibadah dan memiliki jemaat. Pdt Rory sudah tua jadi harus perbanyak kejujuran, jangan justru menunjukkan kebodohan dan hanya berasumsi saja,” kata Pdt Jianto.

Hal senada dikatakan Pdt Tjun Mian. “Kami aktif beribadah di Basement 1 ITC Cempaka Mas. Tempo hari pernah ada yang datang verifikasi dari PGLII. Dia datang jam 11 siang, sementara ibadah kami jam 16. Saat jam ibadah, justru orang itu tidak datang lagi, lantas membuat laporan tidak ada ibadah. Itu menyesatkan,” jelasnya.
Begitu juga peribadahan Pdt Gunawan Waldy, yang divonis tidak ada ibadah. “Yang verifikasi datang sementara ibadah belum mulai. Pas jam ibadah, malah tidak datang. Tapi laporannya tidak ada ibadah,” tukasnya.
Pengalaman lain dialami Pdt Anton Simanjuntak, di mana PGLII salah tempat saat melakukan verifikasi gerejanya.
Para pendeta sepakat, soal verifikasi peribadahan menjadi ranah Bimas Kristen, bukan aras gereja. Karena bisa muncul like or dislike.
Imanuel menepis ucapan Rory yang menyatakan pada 20 Juli 2025 PGLII telah melakukan verifikasi. “Itu kebohongan lain yang disampaikan Pdt Rory. Tidak ada verifikasi. Karena kalau verifikasi harus diketahui oleh pihak yang diverifikasi. Seperti yang saya temui ketika mendatangi gereja Pdt Rory di bilangan Cakung, selama dua minggu berturut-turut memang tidak ada ibadah. Saya masuk ke tempat ibadah, foto-foto dan bertemu dengan pihak di sana, anak buah Pdt Rory. Begitu kan jelas. Jadi, jangan maling teriak maling lah,” papar Imanuel.
Pernyataan Pdt Rory lainnya, dikatakan CMC tidak menerima Boti karena bukan anggota PGLII. “Setiap tahun kami bayar iuran Rp 1,2 juta. Uangnya diterima, kok gerejanya tidak. Dikemanakan iuran kami,” imbuh Imanuel sembari tertawa lepas.
Dengan lantang dia meminta Pemprov DKI untuk mengusut pungutan Rp 1,2 juta dari gereja-gereja penerima Boti yang dilakukan oleh PGLII Jakarta selama ini. Belum lagi acara gathering yang diwajibkan kepada pendeta yang gerejanya menerima Boti. Tahun lalu, dipungut Rp 500 ribu, tapi 2025 ini Rp 900 ribu. “Bukankah itu termasuk pungutan liar? Karena Dikmental Pemprov DKI sudah menyatakan dana Boti tidak boleh dipotong,” tandasnya.
Imanuel meminta Pdt Rory untuk jadi teladan, bukan menyebar fitnah, kebohongan, dan mengadu domba. (RN)












































