Wasekjen AKPI Ajak Kurator dan Pengurus Patuhi Kode Etik Profesi Dalam Bekerja

Dr. Resha Agriansyah, SH., MH., Wakil Sekjen Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI)

Jakarta, innews.co.id – Kepatuhan akan kode etik menjadi salah satu yang mendukung profesionalitas dalam bekerja. Bila diabaikan, bisa berujung pada pelanggaran, bahkan tindak pidana berat.

Hal tersebut dikatakan Dr. Resha Agriansyah, SH., MH., Wakil Sekjen Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), kepada innews, di Jakarta, Jumat (21/7/2023). “Seorang kurator dan pengurus wajib mematuhi dan menjalankan kode etik. Sebab, kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku secara profesional dalam menjalankan tugas profesi,” kata Resha yang juga Founder Resha Agriasyah Partnership ini lugas.

Ketaatan terhadap kode etik akan ikut menentukan profesionalitas seorang kurator dan pengurus dalam menjalankan tugasnya. “Pasti, implementasi kode etik akan sangat menentukan seseorang profesional atau tidak sebagai kurator dan pengurus,” ujarnya.

Soal profesionalitas, sambung pendiri klub sepakbola Resha Agriansyah Partnership Football Club Indonesia yang baru saja menjadi Juara Dunia pada Bation Cup 2023 di Saint Tropez, Perancis ini, tentu berpulang pada pribadi masing-masing dari kurator dan pengurus.

Diakuinya, tentu saja manusia tak ada yang sempurna dan tidak terlepas dari kesalahan. Tak heran ada juga kurator dan pengurus yang tersangkut masalah, dalam hal ini melanggar kode etik. “Bisa saja sebenarnya kurator atau pengurus tersebut bukan bermaksud melanggar kode etik, akan tetapi karena masih tergolong baru menjalankan tugasnya sehingga masih sangat minim pengalaman,” ungkap Resha yang juga Founder Resha Agriansyah Learning Center (RALC) ini.

Karena itu, lanjutnya, tentu semua berpulang pada personal masing-masing, sejauh mana bisa memahami dan menerapkan kode etik dalam melakoni profesinya.

Terkait RALC, Resha menerangkan, wadah ini lebih berkonsentrasi pada pelatihan, penyeluhan dan pendidikan secara lebih massif dan luas lagi.

Resha menepis anggapan bahwa pelanggaran kode etik disebabkan kurangnya edukasi terkait kode etik saat mengikuti pendidikan untuk menjadi kurator dan pengurus, dalam hal ini terkait waktu pendidikannya.

“Sebenarnya bukan kurikulum kode etik atau waktu belajar yang kurang atau muatan materi yang harus dipertajam. Kuncinya adalah personal masing-masing kurator atau pengurus untuk bagaimana mematuhi dan menjalankan kode etik sebagai pedoman dalam menjalankan tugas profesinya sehingga tercipta profesionalitas,” tukasnya.

Kepada para kurator dan pengurus yang baru, Resha berpesan untuk selalu menjaga marwah organisasi AKPI dengan sebaik-baiknya. “Mari kita bekerja sebagai kurator dan pengurus sebagaimana kode etik dan ketentuan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Apabila hal tersebut dijalankan oleh kurator dan pengurus yang baru, maka akan sangat jauh dari pelanggaran kode etik dan akan tercipta profesionalitas dalam menjalankan tugas,” serunya penuh keyakinan. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan