Jakarta, innews.co.id – Di tengah sorotan terhadap konflik masyarakat Desa yang terletak di Kecamatan Sandai Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dengan perusahaan Mukti Group, Anggota DPR RI yang juga mantan Gubernur Kalimantan Barat mengungkapkan, konflik tanah di Kalbar antara korporasi dengan warga setempat sudah berlangsung sejak dulu. Banyak persoalan tak kunjung selesai lantaran ketidaktegasan pemerintah. Kondisi tersebut berlangsung hingga kini.
“Kementerian ATR/BPN harus bisa menyelesaikan masalah pertanahan, khususnya terkait Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang didalamnya masih terdapat perkampungan masyarakat,” kata Anggota Komisi II DPR RI, Dr (HC) Cornelis, dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (17/9/2024).
Menurutnya, masih banyak HGU yang didalamnya ada perkampungan, ada kebun dan tanah masyarakat yang belum clear. “Kita mau ATR BPN membantu menyelesaikannya. Begitu juga bersama Kementerian Kehutanan, terkait kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Itu juga banyak bermasalah,” kata Cornelis.
Seperti kasus yang mencuat akhir-akhir ini, terkait dugaan penyerobotan lahan milik warga 3 desa di Kecamatan Ketapang, Kalimantan Barat, seluas sekitar 70 hektar, yang dilakukan PT Sandai Makmur Sawit (SMS) dan PT Mukti Plantation.
Dengan tegas warga menolak dua korporasi yang bernaung di bawah bendera Mukti Group tersebut. “Ini (penyerobotan lahan) merupakan bentuk kapitalisme kuno, di mana seenaknya saja melakukan pencaplokan lahan tanpa melalui aturan yang benar,” kata Ketua Koperasi Nasional Pangkat Longka Ketapang Sejahtera, M. Sandi, dalam keterangannya, Senin (16/9/2024).
Akibat tindakan tersebut, lanjutnya, bukan saja rakyat yang dirugikan, tapi negara juga mengalami kerugian. Pasalnya, Mukti Group bukan saja memakai tanah dan kebun warga tanpa ada komunikasi dan pembagian keuntungan, melainkan merambah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), hingga negara dirugikan triliunan rupiah melalui hasil panennya.
“Sangat disayangkan karena sepertinya pejabat daerah justru pro ke perusahaan tersebut dan membiarkan warganya ditindas,” tambah Sandi.
Menanggapi hal tersebut, Cornelis yang juga anggota Komisi II DPR RI ini mengaku prihatin. “Tentu kami prihatin dengan apa yang dialami oleh warga Desa Penjawaan, Desa Sandai, dan Desa Mensubang. Pemerintah harus segera mencarikan solusi terbaik sehingga warga tidak merasa jadi orang asing di tanahnya sendiri,” ujar Cornelis mengingatkan.
Politisi PDI Perjuangan ini menegaskan, proses penyelesaian masalah pertanahan penting untuk menghidari konflik antara masyarakat dan perusahaan dan memastikan hak-hak mereka dihormati. Keputusan yang diambil harus benar-benar memperhatikan kepentingan masyarakat.
Jangan sampai, sambungnya, masyarakat yang malah berhadapan dengan perusahaan. Akibatnya, warga malah ditangkap dan dipenjara. Padahal, yang mereka perjuangkan adalah tanah mereka sendiri yang mungkin sudah dikelola turun temurun.
Dirinya juga meminta ATR BPN dapat bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat yang masih tinggal di hutan produksi supaya bisa dilepaskan.
Beberapa waktu lalu, kesemena-menaan dua perusahaan tersebut memakan korban jiwa masyarakat setempat. Di mana terjadi kecelakaan kerja yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia dan 9 lainnya luka-luka lantaran dipaksakan menggunakan Zonder yang sudah tidak layak pakai untuk menjemput karyawan. Ditambah lagi keengganan perusahaan menanggung biaya korban. Ternyata ditemukan, karyawan kedua perusahaan tersebut tidak didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja, padahal setiap bulan gaji karyawan dipotong.
Dengan tegas warga menolak kehadiran dua perusahaan yang justru dinilai menjadi petaka bagi masyarakat 3 desa tersebut.
“Jika pemerintah tidak bertindak tegas, kami siap bertindak sendiri untuk mengusir kedua perusahaan ini dari desa kami,” seru warga, seperti disampaikan oleh Sandi. (RN)
Be the first to comment