Jakarta, innews.co.id – Asosiasi Kuratior dan Pengurus Indonesia (AKPI) menjawab kritikan Anggota Komisi II DPR RI Riyanta terkait adanya kurator nakal yang diduga ‘merampok’ debitur, yang disampaikan pada Selasa (17/9/2024) lalu.
Dalam penyampaiannya Riyanta mengatakan, “Berbicara soal keadilan adalah amanat dari UUD 1945 dan Pancasila. Untuk itu perampokan oleh oknum kurator terhadap debitur, tidak dapat dibenarkan”.
Politikus PDIP ini mendorong direvisinya Undang-Undang Kepailitan untuk melindungi aset debitur dari pengelolaan yang tidak adil oleh kurator.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal AKPI Nien Rafles Siregar mengatakan, “Pertama-tama, kami mengajak masyarakat luas untuk mengerti dan memahami apa itu profesi kurator dan pengurus. Profesi ini membantu keluarnya debitur dari kesulitan keuangan melalui restrukturisasi yang dibutuhkan, baik debitur maupun kreditur”.
Menurutnya, persentase kurator nakal yang diduga mengemplang debitur sangat sedikit. “Kalaupun ada, sudah dapat dipastikan hanya segelintir kurator dan pengurus. Sepanjang kepengurusan kami, sangat sedikit sekali kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh kurator dan pengurus,” terang Rafles.
Hal tersebut, lanjutnya, karena dalam menjalankan tugasnya, seorang kurator dan pengurus memiliki rambu-rambu yang jelas. Mulai dari Undang-Undang, peraturan-peraturan teknis, kode etik, bahkan standar profesi. “Dengan rambu-rambu tersebut harusnya tidak banyak kurator dan pengurus yang bisa bekerja dengan sembarangan, apalagi sampai ‘merampok’ debitur,” ujar Founder dan Managing Partner Siregar Setiawan Manalu & Partnership ini.
Tak hanya itu, dalam pendidikan bagi calon kurator dan pengurus, kode etik menjadi sesuatu yang sangat ditekankan. “Kurator dan Pengurus memiliki tugas mulia dan tanggung jawab besar membantu debitur maupun kreditur. Kami tidak bisa mentolerir segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana yang dilakukan oleh oknum kurator dan pengurus,” tegas pria berdarah Batak ini.
Ditekankannya, sebagai organisasi kurator tertua dan terbesar di Indonesia, AKPI selalu aware dengan isu-isu ini. “Kami selalu tanamkan pentingnya anggota untuk bekerja secara profesional dan berintegritas, mulai sejak awal mula saat calon anggota menjalani pendidikan dasar, pendidikan lanjutan, hingga penegakan kode etik,” imbuhnya.
Rafles menyadari bisa saja satu dua ada oknum kurator dan pengurus yang nakal. Kalaupun itu terjadi, langsung diambil tindakan tegas. “AKPI punya mekanisme sendiri guna menyelesaikan masalah kurator dan pengurus yang nakal. Bila ditemukan, maka yang bersangkutan segera diberi sanksi tegas,” tukasnya.
Terkait revisi UU Kepailitan, menurutnya, memang sudah sangat mendesak. “Tapi bukan juga revisi dilakukan karena kurator nakal. Lebih karena kebutuhan dan menyesuaikan dengan dinamika dalam dunia kepailitan,” seru Rafles.
Dia menilai, banyak isu-isu terkini yang belum terakomodir dalam UU Kepailitan saat ini.
“Saat ini, pemerintah tengah menggarap draf perubahan UU Kepailitan. Begitu juga AKPI sedang menggodoknya sehingga bisa memberikan masukan kepada DPR RI,” jelasnya.
Dirinya berharap, di awal-awal pemerintahan yang baru nanti, revisi UU Kepailitan ini menjadi agenda pembahasan di DPR. “Semoga hal ini bisa tetap menjadi perhatian dan prioritas serta dapat segera melibatkan publik (termasuk AKPI) dalam pembahasannya,” pungkas Rafles. (RN)
Be the first to comment