Soal Prahara Menteri Asal NasDem dan Cawe-cawe Jokowi, Palmer Situmorang Tegas Bilang Begini

Dr. Palmer Situmorang, praktisi hukum dan advokat senior

Jakarta, innews.co.id – Tidak selalu seseorang yang duduk sebagai pejabat negara, menteri misalnya, dipanggil atau diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau lembaga penegak hukum lain lantas disebut sebagai politisasi.

Praktisi hukum yang juga advokat senior Dr. Palmer Situmorang sangat tidak setuju bila dikaitkan pemanggilan atau pemeriksaan seorang menteri itu selalu berbau politik. “Saya jengah kalau ada yang mengatakan seakan-akan kalau ada orang dipanggil sebagai tersangka disebut bermuatan politik. Jangan begitu! Daripada berbantah-bantahan, bagus disikapi secara positif saja,” kata Palmer, di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dipandu Karni Ilyas bertajuk ‘Prahara Menghantam NasDem Murni Hukum atau Politis?’, Kamis (22/6/2023).

Dengan lugas, Palmer menjelaskan, untuk penetapan seseorang menjadi tersangka harus ada minimal dua alat bukti. “Mentersangkakan orang itu norma, bukan teori. Diperlukan dua syarat yakni, alat bukti dan status (tersangka) yang tidak akan terus dipertahankan karena akan ada hakim, tentunya dari institusi atau lembaga lain, yang akan mengadili dan memutus perkara,” terangnya.

Terkait penetapan dan pemanggilan politisi NasDem oleh Kejaksaan Agung dan KPK, Palmer menilai, itu taruhannya sangat besar bagi pemerintahan sekarang. “Jangan lihat kejaksaan, KPK atau kepolisian, di mana bisa kemungkinan ada pengaruh Presiden, lembaga internasional pun mengamati kita. Kalau sampai Presiden Jokowi cawe-cawe, dalam arti tidak dalam ‘rel’, pasti kita akan dihujat oleh dunia internasional. Semua itu pasti dipertimbangkan oleh orang hukum Presiden. Mereka akan menelaah hal tersebut juga,” ungkapnya.

Palmer mengisahkan pengalamannya selaku Kuasa Hukum Susilo Bambang Yudhoyono dan keluarga ketika menjabat sebagai Presiden RI, saat menangani berbagai persoalan hukum di kurun 2013-2014. Ketika itu, SBY kerap dihujat di berbagai media. “Dari sekian orang yang terkena kasus, hanya Anas Urbaningrum yang cuap-cuap bilang ini dipolitisasi. Itu pun saya lihat dia tidak murni mengatakan, tapi Anas lebih mau minta ada pembelaan bagi dirinya. Dia paksa Presiden (SBY) untuk ikut membela dia,” bebernya.

Disampaikan, tidak ada niat SBY untuk memberangus Anas ketika itu. Kasus Anas, kata Palmer, bermula dari tertangkap tangannya Mindo Rosalina, lalu berkembang hingga kena ke Anas. Gak ada yang ngarang-ngarang cerita itu.

“Demikian juga kasus dugaan pidana korupsi di DKI Jakarta yang melibatkan pemimpinnya. Isu itu sudah jauh sebelum NasDem menetapkan Anies sebagai Bacapres 2024. Kalau memang KPK punya alat bukti yang cukup kenapa tidak dijadikan tersangka? Kalau belum, berarti alat buktinya belum cukup,” ujarnya.

Menurutnya, kalau alat bukti memang belum cukup, KPK sebenarnya bisa menghentikan proses suatu perkara. Karena Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memperbolehkan KPK menghentikan suatu perkara.

Justru menurutnya, KPK bisa dibilang telah melakukan tebang pilih, dengan tidak mentersangkakan Anies bila sudah cukup alat bukti. “Sekarang pun Anies belum menjadi Capres resmi karena belum ada pendaftaran. Kalau cukup alat bukti langsung saja ditetapkan sebagai tersangka,” serunya.

Di Amerika Serikat saja, mantan Presiden Donald Trump bisa menjadi tersangka karena kasus dugaan pelecehan seksual sampai membawa dokumen rahasia negara ke rumahnya.

Dengan tegas Palmer meminta, kalau alat bukti sudah cukup, baik di kejaksaan maupun KPK, segera seseorang itu ditersangkakan supaya jangan ada masyarakat atau pihak yang merasa sengaja diundur-undur untuk menunggu timming yang tepat. Ini juga membuat penalaran-penalaran yang keliru dan menyesatkan publik. “Segera jadikan tersangka. Adalah sangat terhujat pejabat-pejabat hukum kita apabila sudah jelas lengkap alat buktinya, tapi tidak ditersangkakan. Atau mentersangkakan sebagian, sementara sebagian lainnya tidak. Itu dosanya seabreg-abreg bila terjadi demikian,” tegasnya.

Bagi saya, kalau ada orang demikian, berarti bukan seorang penegak hukum, apalagi negarawan. “Kalau sudah lengkap alat bukti, ajukan seseorang atau satu pihak menjadi tersangka. Soal ditahan atau tidak, itu urusan kedua. Supaya tidak menjadi bola liar, menjadi tuduhan dan fitnah kesana kemari. Apalagi sampai mengatakan norma hukum itu teori. Profesor hukum seperti itu baiknya jangan bicara,” tandasnya.

Soal cawe-cawe yang juga banyak diperbincangkan, Palmer menjelaskan, di negara maju, kalau yang bicara sudah mengklarifikasi maksud kenapa dia melakukan cawe-cawe, berarti isu sudah selesai dan tidak perlu diperpanjang atau digoreng-goreng lagi.

“Kalau Presiden Jokowi sudah menjelaskan ke publik terkait alasannya cawe-cawe ya jangan terus-terusan dihujat. Itu tidak baik juga,” tukasnya.

Seorang Presiden, sambung Palmer, dalam kompetensinya, kalau dia menganggap project-nya dan dasarnya sudah benar, tidak salah kan kalau mau dipertahankan.

Terkait tudingan hukum dipakai sebagai alat Pemilu, Palmer beranggapan, ya memang benar itu. “Tapi kalau dibilang ada pihak-pihak yang dengan sengaja mempidanakan seseorang supaya menang Pemilu, seperti yang dikatakan Prof Denny Indrayana, itu bukan tipe orang hukum. Hukum itu tertata dengan baik, memiliki alat bukti dan sudah melalui uji kebenaran materiil dalam persidangan melalui cross examination yang dilihat oleh masyarakat umum dan dunia internasional,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan