Jakarta, innews.co.id – Sejatinya, tugas wakil rakyat adalah sebagai penyambung suara rakyat. Membawa dan memperjuangkannya ke pusat kekuasaan untuk selanjutnya dieksekusi. Jadi, tidak ada visi-misi dari wakil rakyat. Yang ada hanya visi-misi partai politik sebagai perahu yang digunakan oleh para calon legislatif.
Hal tersebut dikatakan Anggota DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan, SH., MM., saat ditemui di ruang kerjanya, di Jakarta, Kamis (28/6/2023). Jadi, kalau ada caleg yang berkoar-koar dengan serangkum visi-misi, maka patut dipertanyakan. Bagaimana kalau aspirasi masyarakat (konstituen) tidak sesuai dengan visi-misi partainya, apakah akan bisa diperjuangkan?
“Masyarakat harus jeli melihat mana parpol yang benar-benar memiliki visi-misi untuk kemaslahatan masyarakat, berideologi Pancasila serta berani memperjuangkan aspirasi rakyat,” ujarnya mengingatkan.
Menurutnya, salah besar bila fanatisme sempit dan primordialisme menjadi acuan dalam memilih wakil rakyat. Apalagi kalau memilih didasarkan pada kepentingan sesaat, seperti karena dikasih amplop atau termakan janji-janji surga. Karenanya, dalam berpolitik butuh kedewasaan, pikiran jernih, dan ketenangan jiwa.
Masyarakat, lanjutnya, harus jeli melihat mana calon-calon yang bisa dipercaya bakal benar-benar memperjuangkan aspirasinya. “Jangan karena seseorang kaya, suka bagi-bagi duit, lantas dipilih. Karena bisa jadi itu tidak menyelesaikan masalah warga, minimal selama 5 tahun kedepan,” tegas Pantas yang juga Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI ini.
Dijelaskan, harus dipahami bahwa legislatif di negara manapun bukan pekerjaan individu, tapi sifatnya kolektif. Itu sudah terbangun di partai, baru berlanjut ke dewan, melalui fraksi, sehingga tercipta kolektif kelembagaan. Hasil dari kolektifitas itu lantas disambungkan ke eksekutif dan muaranya pada program-program ke masyarakat.
“Warga Jakarta harus memahami hal tersebut. Karena itu, setiap reses, saya tidak hanya menyerap aspirasi, tapi juga memberikan pertanggungjawaban terhadap amanah yang diberikan warga kepada saya,” beber Pantas.
Dia menilai, itu juga yang mendorong munculnya wacana proporsional tertutup, yang sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi. Karena memang awalnya kan Indonesia menganut sistem proporsional tertutup. Baru pada 2004 berubah menjadi proporsional terbuka, di mana rakyat memilih langsung calon wakil rakyat dan Presiden-Wakil Presiden. (RN)
Be the first to comment