Jakarta, innews.co.id – Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal melindungi hak-hak masyarakat adat yang telah kehilangan hutan tradisional dan mata pencarian mereka karena lahannya diduga dicaplok korporasi untuk digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit. Salah satunya seperti terjadi di Kalimantan Barat, tepatnya di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang.
“Masyarakat adat Indonesia telah menderita akibat kerugian signifikan sejak kehilangan hutan leluhur mereka yang subur karena perkebunan kelapa sawit. Pemerintah Indonesia telah menciptakan sebuah sistem yang memfasilitasi perampasan hak tanah adat,” kata Juliana Nnoko-Mewanu, peneliti bidang lahan di Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya, yang dilansir, Kamis (12/9/2024).
Dikatakan, sejatinya, berbagai aturan hukum Indonesia, mulai tahun 1999, mewajibkan perusahaan yang ingin mengembangkan perkebunan kelapa sawit untuk berkonsultasi dengan masyarakat setempat pada setiap tahap proses untuk mendapatkan izin pemerintah. Perusahaan memiliki tanggung jawab berdasarkan hukum internasional untuk menjalankan konsultasi berkelanjutan dengan masyarakat.
Namun, faktanya, sangat minim korporasi yang mau berkonsultasi dengan masyarakat terdampak sampai setelah hutan dihancurkan secara signifikan.
Seperti dialami masyarakat di Desa Sandai dan Desa Pangkalan Suka, di Kecamatan Sandai, Ketapang, Kalbar, yang lahannya seluas 70 hektar diduga dicaplok oleh PT Sandai Makmur Sawit (SMS) dan PT Mukti Plantation.
Diduga perusahaan dibawah bendera Mukti Plantation Group itu menanam sawit di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), hingga negara dirugikan triliunan rupiah melalui hasil panen selama puluhan tahun. Praktik korup yang sangat merugikan negara ini bisa berlangsung hingga puluhan tahun karena diduga dibekingi oknum mantan pejabat penegak hukum.
Warga pun berang dan meminta kepada aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti proses hukum terhadap perkara yang melibatkan Mukti Group ini.
“Jika pemerintah tidak bisa tegas, kami siap bertindak sendiri untuk mengusir kedua perusahaan ini dari desa ini,” ujar Ketua Koperasi Nasional Pangkat Longka Ketapang Sejahtera M. Sandi, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Rabu (11/9/2024) kemarin.
Sandi menduga ada pihak pejabat, baik lokal maupun di Pusat yang menjadi beking dua perusahaan tersebut. Selama ini warga memilih diam. Namun, kini ada upaya perlawanan yang akan dilakukan oleh masyarakat.
“Sudah menjadi rahasia umum kerap terjadi pencaplokan lahan, tak terkecuali di Kalimantan Barat. Patut diduga ada patgulipat dibalik penguasaan lahan di sana. Dan itu terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam keterangan persnya, di Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Pengambilan lahan yang semena-mena, kata Dewi, menjadi salah satu akar terjadinya konflik agraria. “Kesewenangan mengambil lahan tentu sudah dibeking oleh oknum tertentu. Mulai dari pejabat lokal sampai pusat. Kebanyakan seperti itu. Kalau pejabat lokal tentu untuk mencukupi kebutuhan amunisinya, terutama kan ini mau Pilkada Serentak,” bebernya.
Pada 19 September 2018, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktifitas Perkebunan Kelapa Sawit. Sayangnya, moratorium itu hanya berlaku singkat, cuma 3 tahun saja.
Baik HRW maupun KPA mendorong warga untuk terus memperjuangkan hak-haknya atas lahan yang dimiliki selama ini, mungkin sudah turun temurun. “Pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) juga harus merespon cepat dugaan tindak pidana yang dilakukan korporasi tersebut. Karena kalau dibiarkan berlarut bisa menjadi bom waktu,” tegas Dewi. (RN)
Be the first to comment