Pemuka Buddha Minta Kemenag Tegas Terhadap Rohaniwan yang Terlibat Tindak Pidana

Pengadilan Negeri Jakarta Utara

Jakarta, innews.co.id – Keterlibatan rohaniwan Buddha dalam perkara nomor 246/Pid.B/2024/PN.Jakut, terkait dugaan memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik, merupakan tamparan keras bagi umat Buddha. Pasalnya, seorang Bhikkhu/Bhikkhuni memiliki ratusan aturan yang sangat ketat. Karenanya, bila tersangkut kasus hukum, Bhikkhu/Bhikkhuni diharuskan menanggalkan jubah dan segala atribut kebikhhuannya.

“Rohaniwan Buddha dari aliran apapun tidak boleh terlibat dalam masalah hukum. Dan apabila terlibat, maka langkah pertamanya, rohaniwan itu harus melepas semua atribut keagamaan, lalu menjalani proses sesuai hukum yang berlaku,” kata Bhante Bodhi, rohaniwan Buddha senior, dalam keterangan persnya menyikapi perkara yang melibatkan Bhiksuni Eva Jauwan, di Jakarta, Sabtu (11/4/2024).

Suasana persidangan di PN Jakarta Utara, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi, Kamis (25/4/2026)

Seperti diketahui, saat ini Eva bersama Aky Jauwan ayahnya telah ditetapkan sebagai terdakwa dan menjadi tahanan kota. Perkaranya tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

“Memalukan bila seorang Bhikkhu/Bhikkhuni sampai tersangkut masalah hukum, melakukan tindak pidana, bahkan telah ditetapkan sebagai terdakwa. Itu pukulan berat bagi umat Buddha, khususnya di Indonesia,” imbuh Banthe Bodhi.

Di Buddha ada dua sampai tiga aliran besar. Dua di antaranya yakni, Threvada dan Mahayana. Threvada sebagai aliran tertua Buddha memiliki 270 aturan rohaniawan. Sementara Mahayana ada sekitar 400 aturan.

“Aturan-aturan bagi rohaniwan Buddha tersebut sudah sedemikian ketat dibuat. Sebuah pelanggaran yang dilakukan hanya bisa ditoleransi dengan hukuman atau sanksi,” tukasnya.

Dijelaskan, bagi rohaniwan dan umat Buddha, berbohong masuk kategori pelanggaran berat, terlebih ada yang dirugikan secara materi atas kebohongannya tersebut. Bila itu terjadi, maka guru dari rohaniwan tersebut harus yang harus mencopot jubah dan atributnya. Sementara si pelaku disidangkan oleh hukum negara.

“Seorang Bhikkhu/Bhikkhuni hidupnya berdasarkan ajaran dan aturan. Karenanya tidak boleh dipermainkan,” tegasnya.

Lalu bagaimana bila ada guru yang menolak mencopot jubah dan atribut keagamaan dari muridnya yang kedapatan melakukan tindak pidana, bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka?

“Disinilah nampak kredibilitas seorang guru. Apakah masih bisa dikatakan guru kalau perilakunya seperti melindungi kejahatan yang dilakukan muridnya?” cetus Banthe Bodhi.

Ditambahkan, selain guru yang memiliki kewenangan tersebut adalah Kementerian Agama, dalam hal ini Dirjen Bimas Buddha.

Ketika coba dikonfirmasi melalui pesan singkat terkait perkara hukum yang menjerat Bikkhuni Eva, Dirjen Bimas Buddha Supriyanto, nampaknya enggan berkomentar.

Namun, kepada media online sinarharapan.net, Supriyanto mengaku tidak mengetahui persis dan jelas kasus yang menimpa Bikkhuni Eva terkait memberikan keterangan palsu dalam akta otentik.

“Silahkan saja untuk segera dipatuhi proses hukum yang tengah berjalan itu. Tapi yang jelas, saya baru dengar adanya seorang Bikkhuni terlibat kasus ini ya,” kata Supriadi, seperti dilansir dari media online tersebut, Minggu (5/5/2024) lalu.

Banthe Bodhi menyayangkan kalau sampai Kemenag seperti mau cuci tangan terhadap masalah tersebut. “Apakah Kemenag juga melindungi kejahatan? Wah kalau iya, berarti ini bak kejahatan terorganisir dan perlu dipertanyakan dimanakah para pejuang Buddha dikala agama kita diinjak-injak harga dirinya?” tanya Banthe Bodhi.

Dirinya mengingatkan agar Kemenag tidak malah menghindar dari kasus ini. “Kepada para pejabat di Kemenag, Anda diberi wewenang untuk membela yang benar, bukan menghindar seakan-akan ini bukan urusan Kemenag. Sebab bila demikian, lalu rohaniwan Buddha diurus oleh siapa?” sergahnya.

Meski begitu, Banthe Bodhi menegaskan, kalaupun semua orang mengatakan itu bukan urusannya, maka sebagai bhikkhu senior dia akan tetap berjuang sendiri untuk melindungi jubah agama Buddha yang suci agar tidak dizholimi oleh pemuka agamanya sendiri.

Lepas jubah

Sementara itu, Budhi Kumara Rohaniawan Sanggar Pamujan Candi Buddha Jawi dari Vihara Eka Jaya Lampung menguraikan, Bikkhu/Bikkhuni mempunyai 227 peraturan dan biasa disebut Vinaya.

“Bila kesalahan yang dilakukan itu juga bagian dari vinaya, semestinya Bikkhu/Bikkhuni itu lepas jubah. Sebab sangat memalukan sekali bila guru yang harus melepaskannya,” tandasnya.

Budhi menjelaskan juga, yang bisa menilai seorang Bikkhu/Bikkhuni melanggar vinaya atau tidak ialah guru/Acarya pembimbing, bukan lembaga hukum.

Dipaparkan, bila sudah dinyatakan bersalah, cukup si rohaniwan bersama beberapa saksi di depan altar Buddha mengatakan, “Saat ini, di depan altar Buddha dan para saksi saya melepaskan jubah dan atribut kebikkhuan saya. Dan mulai saat ini saya melepaskan 227 peraturan kebikkhuan dan kembali menjadi umat berkeluarga dengan menjalankan Pancasila/5 peraturan moral”.

Menurut Budhi, dengan melakukan hal tersebut, si rohaniwan lebih terhormat menjalani hukumannya.

Pada bagian lain, Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Prof. Dr. Philip K. Wijaya mengatakan, kalau rohaniwan tersangkut masalah hukum setidaknya dinonaktifkan.

“Kalau (rohaniwan) terjerat hukum paling dinonaktifkan. Dilarang untuk berkhotbah lagi. Tapi itu juga tergantung pada kesalahan dan berada di majelis apa rohaniwannya,” urai Philip.

Selain di nonaktifkan, masih kata Philip, juga harus mengikuti proses hukum negara. Misal, mengikuti proses persidangan. “Bila ditemukan demikian, umat Buddha pun harus menyikapinya (secara kritis),” tambahnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan