Jakarta, innews.co.id – Serangan siber menjadi ancaman serius bagi industri penerbangan global, termasuk Indonesia.
Peringatan tersebut disampaikan Praktisi Hukum Penerbangan Andre Rahadian, SH., LL.M., M.Sc., dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Hal tersebut berkaca pada kasus serangan siber yang menimpa maskapai Qantas, beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, serangan siber ke Qantas berpotensi mengancam data pribadi hingga 6 juta pelanggannya. Pihak Qantas membantah hal tersebut. Mereka menyatakan bahwa akun frequent flyer tidak diretas. Namun, fakta bahwa data pelanggan bisa saja bocor menunjukkan lemahnya lapisan keamanan digital meskipun pada maskapai besar sekalipun.
“Keamanan siber menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh maskapai penerbangan, termasuk di Indonesia. Kelalaian akan hal tersebut bisa mengakibatkan kebocoran data pemakai maskapai tersebut,” kata Partner Hanafiah Ponggawa & Partners Law Firm (Dentons HPRP) ini.
Founder Masyarakat Hukum Udara (MHU) ini mendorong maskapai penerbangan di Indonesia untuk memperkuat infrastruktur siber. “Maskapai seperti Garuda Indonesia, Citilink, dan Lion Air harus melakukan audit keamanan siber secara berkala serta berinvestasi dalam sistem proteksi yang proaktif, bukan hanya reaktif,” sarannya.
Menurutnya, insiden ini bukan hanya alarm bagi satu maskapai, melainkan juga sinyal bahwa keamanan data adalah bagian yang tak terpisahkan dari keselamatan penerbangan era digital. “Indonesia harus belajar dari kasus ini agar tidak sampai menjadi korban berikutnya,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan BSSN perlu memastikan bahwa semua maskapai dan penyedia layanan penerbangan memiliki standar perlindungan data yang setara atau melebihi regulasi internasional seperti GDPR (General Data Protection Regulation).
Diingatkan juga agar mewaspadai reuse data dan PIN. “Masalah sering kali datang dari penggunaan ulang PIN atau data yang sama di berbagai platform. Untuk itu, lanjutnya, maskapai perlu mendorong pelanggan untuk menggunakan kredensial unik dan mendukung otentikasi ganda (2FA).
Tak kalah penting, sambung Ketua Umum Iluni UI periode 2018-2022 ini, maskapai harus proaktif melakukan edukasi dan perlindungan konsumen.
“Pelanggan harus diberi informasi yang jelas tentang bagaimana data mereka digunakan, disimpan, dan dilindungi. Jika terjadi insiden, kecepatan dan transparansi dalam merespons akan menjadi kunci menjaga kepercayaan publik,” pungkasnya. (RN)














































