Jakarta, innews.co.id – Rumor pembahasan RUU KUHAP mau dihentikan merupakan sesuatu yang sangat menyedihkan dan patut dicermati.
“Kami meminta Komisi III DPR RI tidak menghentikan pembahasan sampai pengesahan RUU KUHAP ini karena di awal 2026 sudah mulai diberlakukan. Kalau tidak, maka bagaimana kita bisa menerapkan hukum pidana yang benar,” kata Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia Officium Nobile (AAI ON), Dr. Palmer Situmorang, SH., MH., saat Rapat Dengar Pendapat Umum (EDPU) bersama sejumlah organisasi advokat lainnya dengan Komisi III DPR RI, di Gedung Nusantara II, DPR/MPR, Jakarta, Senin (21/7/2025).

Palmer menilai, jika RUU KUHAP ini ditunda atau dibatalkan, alamat akan lebih banyak berjatuhan korban akibat ketidakadilan yang berjalan. Lebih gawatnya lagi UU KUHP yang baru akan berlaku awal Januari 2026 tanpa hukum acara yang memadai.
“Saya berharap tidak ada pihak-pihak yang berniat menghadang atau menjegal RUU KUHAP ini. Kami siap mengawal RUU ini sampai disahkan,” serunya.
Diakuinya, selama ini advokat terlibat, melihat, dan merasakan langsung praktik yang tidak baik dan pelanggaran HAM akibat kelemahan KUHAP sebagai sistem beracara hukum pidana dengan hukum acara yang tidak memadai.
Sampaikan koreksi
Palmer dengan lugas memberi koreksi terhadap materi dalam RUU KUHAP tersebut
Tanpa tedeng aling-aling, Palmer mengatakan, praperadilan berpotensi menjadi alat atau ruang bersengkongkolnya Termohon (Jaksa dan Polisi) dengan Hakim. “Bisa setelah dua bulan didaftar praperadilan, hakim yang menyidangkan pun sudah ditetapkan tapi tidak disidang juga. Kalau tidak juga naik perkaranya, masa penahanan habis. Bisa rusak itu hukum acara,” tukasnya.

Dijelaskan bahwa hukum pidana adalah hukum publik, termasuk PTUN menganut asas fiktif positif. Demikian juga KUHAP. Fiktif positif artinya ketika hakim tidak memutus perkara dalam jangka waktu yang ditetapkan berarti dikabulkan permohonannya.
Dicontohkan, apabila tersangka ditahan melebihi batas waktu harus dikeluarkan tanpa ada catatan ini-itu. “Ini perlu dikaji kembali supaya praperadilan ditunda-tunda dan hanya menjadi bancakan saja,” tegasnya.
Berikut sejumlah masukan AAI terkait RUU KUHAP:
Pendampingan bantuan hukum (Pasal 134)
Usulan:
- Tersangka atau Terdakwa atau Advokat berhak mendapatkan keterangan Saksi/Ahli yang meringankan dengan pertanyaan yang dikehendakinya;
- Penyidik, Jaksa atau Hakim wajib memanggil Saksi/Ahli yang diminta oleh Jaksa Penuntut Umum, Tersangka atau Terdakwa;
- Agar Hakim diberi ruang kewenangan yang jelas untuk memeriksa seluruh proses penyidikan, penuntutan dan penyimpangan terhadap hukum acara akan menjadi kewenangan Hakim membatalkan seluruh proses pemeriksaan dan penuntutan jika dipersidangan ditemukan pelanggaran hukum acara.
Jaksa wajib memberikan turunan berita acara dan alat bukti (Pasal 147 ayat 6)
Usulan:
- Perlu didefinisikan frasa “Berita Acara, karena mempunyai kaitan di berbagai pasal dan menghindari atau multi tafsir.
- Banyak pasal menyebut frasa berita acara tanpa diawali huruf kapital, maka sepatutnya didefinisikan.
Pasal 203 RUU terkait Pasal 181 KUHAP
Usulan:
- Perlu diatur secara rinci dan jelas terperinci, hak asasi Tersangka atau Terdakwa untuk melihat dan mendapat penjelasan alat bukti yang membuat dirinya menjadi Tersangka/Terdakwa.
- Ketercukupan alat bukti harus dapat diuji di depan Hakim walau perkara masih di tingkat Penyidikan/Penuntutan.

Rumusan dakwaan dan putusan jika terdakwa korporasi (Pasal 175 ayat 6-7, Pasal 181 ayat 7-8, Pasal 311, Pasal 319, dan Pasal 71 ayat 2-3)
Usulan:
Agar korporasi tidak lolos dari pemidanaan, maka perlu dipertegas rumusan khusus, terhadap penyebutan identitas terdakwa/terpidana korporasi agar dakwaan atau putusan tidak melawan akal sehat atau cacat ilmiah.
Tenggang waktu masa pendaftaran hingga putusan praperadilan menerapkan prinsip positif fiktif (Pasal 154 RUU terkait Pasal 82 KUHAP)
Usulan:
- Putusan harus diperoleh 10 hari sejak permintaan didaftarkan.
- Apabila Hakim tidak menjatuhkan putusannya dalam 7 hari sejak diajukan permohonan praperadilan, maka berlaku azas fiktif positif. Maka permohonan praperadilan demi hukum telah dikabulkan seluruhnya karena asas ini dianut dalam RUU eks Pasal 94 ayat (3) Tersangka wajib dikeluarkan apabila masa penahanannya habis.
Jaksa wajib memanggil saksi/ahli yang diminta selama penyidikan atau terdakwa atau di persidangan (Pasal 36 RUU terkait Pasal 146 KUHAP)
Usulan:
- Perlu diberikan rumusan yang jelas sebagai berikut:
Dalam hal Saksi atau Ahli yang diminta Tersangka atau Terdakwa tidak dilaksanakan, maka seluruh berita proses penyidikan dan seluruh berita acara harus dinyatakan cacat hukum dan menjadi objek praperadilan. - Pengadilan dalam memeriksa perkara juga harus berwenang memeriksa seluruh prosedur yang ditempuh telah sesuai dengan hukum acara, dalam pemeriksaan dipersidangan terbukti ada pelanggaran hukum acara selama penyidikan dan penuntutan, Hakim dapat membebaskan Terdakwa karena berkas diyakini mengandung ketidak kebenaran (preseden kasus OJ. Simson). (RN)













































