Jakarta, innews.co.id – Rakyat Indonesia hanya diajak sampai pintu gerbang kemerdekaan, sementara yang masuk dan menikmati kemerdekaan itu hanya segelintir orang politik-politik saja.
“Rakyat Indonesia hanya disuruh menunggu di pintu gerbang kemerdekaan saja dan melihat para elite sedang berada di ruang kemerdekaan. Dan, itu terjadi sampai hari ini,” kata Dr. Rudyono Darsono, SH., MH., Ketua Dewan Pembina Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (UTA) Jakarta, pada wisuda UTA Jakarta, Kamis (16/10/2025).
Esensinya merdeka itu bebas dari rasa takut, bebas mengeluarkan pendapat, dan mempunyai persamaan di segala bidang dengan siapapun.
Berkaca pada pengalaman bangsa ini, masyarakat tentu bisa menilai, mana lebih menguntungkan, darurat sipil atau darurat militer?
“Indonesia telah melewati darurat sipil, di era 1998. Sebelum 1998, militer dianggap diktator dan berantakan. Padahal, kalau kita mau jujur, membandingkan Orde Baru dengan saat ini, mana lebih baik kondisinya, darurat sipil atau darurat militer? Pasti banyak orang cenderung bilang, sebelum 1998 kondisi jauh lebih baik,” kata Dr. Rudyono Darsono, SH., MH., Ketua Dewan Pembina Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (UTA) Jakarta, pada wisuda UTA Jakarta, Kamis (16/10/2025).
Bahkan, dirinya menilai, perjuangan di 1998 ibarat jauh panggang dari api. Penyelewengan reformasi sangat tinggi.
Kelihatannya, lanjut Rudyono, darurat sipil tahun 1998, 2000, 2002, dan 2005 lebih jahat dari darurat militer dan tidak manusiawi. Lantas, apa itu masih pantas untuk diteruskan?
“Darurat militer itu bukan kudeta. Tapi bagaimana membenahi negara dengan merestart ulang sebuah pemerintahan yang terlanjur kacau balau dan tidak jelas mana hukum dan mana kekuasaan. Saya mendukung penuh darurat militer sampai hari ini,” tegasnya.
Dikatakannya, Indonesia disebut negara hukum. Tentu patokannya hukum dan konstitusi. “Kalau dilihat hampir tidak ada hukum dan konstitusi kita yang berjalan baik. Yang berjalan adalah kekuasaan dan kewenangan. Lantas, apa masih pantas kita sebut ini eranya sipil?” tanya Rudyono.
Menurutnya, militer harus mengambil alih dan memperbaiki sehingga rakyat tenang dan kekuasaan direstart kembali dari keserakahan sekelompok orang yang menamakan kekuasaan sipil yang ujungnya dengan kekuasaan dan kewenangannya justru merampok atas dasar hukum dan konstitusi.
“Wajar saja kalau Bung Karno pernah mengatakan, perjuangan setelah kemerdekaan lebih berat daripada melawan penjajah bangsa asing,” cetusnya.
Penjajahan bangsa asing dengan kekuatan militernya masih bisa dilawan. Tapi, penjajahan dan perampokan oleh bangsa sendiri, sulit untuk kita keluar dari kekuasaan mereka karena mereka mengatasnamakan hukum dan kekuasaan. (RN)













































