
Jakarta, innews.co.id – Kemacetan di Jakarta bukan semata lantaran over load-nya jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan panjang ruas jalan yang ada, tapi merupakan faktor yang terkesan disengaja untuk kepentingan tertentu. Benarkah ada invisible hand dibalik kemacetan menahun di Jakarta?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada tahun 2022, dihitung ruas jalan di jalan sepanjang 6.485 kilometer yang terdiri dari 53 kilometer jalan negara dan 6.432 kilometer jalan provinsi. Sementara itu, hingga tahun 2024, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 24 juta unit. Bila jumlah kendaraan dibagi dengan panjang ruas jalan, maka per kilometernya dipadati oleh 3.701 kendaraan bermotor. Sesak? Itu sudah pasti.
“Kurang lebih 20 tahun terakhir, kesengsaraan di jalan akibat macet luar biasa. Tak heran banyak orang stres, bahkan sakit jiwa. Itu juga yang membuat orang Jakarta cenderung emosional, temperamen, dan gampang marah,” kata pengamat sosial Dr. John N. Palinggi, MM., MBA., dalam perbincangan di kantornya, Jumat (13/12/2024).

Masalah kemacetan berlarut-larut seolah tanpa solusi. John mencontohkan, dari kediamannya di daerah Kebon Jeruk ke kantornya di Graha Mandiri, Jl. Imam Bonjol, normalnya waktu tempuh hanya 14 menit. Tapi karena macet, dirinya harus menempuh 2,5 jam baru tiba, baik pergi maupun. “Kemacetannya luar biasa,” ungkapnya.
Kemacetan mengakibatkan pemborosan bahan bakar, waktu tempuh lebih panjang, timbulnya stres, orang jadi pembohong karena selalu beralasan macet padahal dua yang lambat berangkat ke kantor produktifitas pekerja menurun karena sudah loyo sampai kantor. Dari semua itu, ujungnya negara juga yang dirugikan.
Sejumlah pengamat menyebut kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta bisa mencapai Rp 100 triliun per tahun. Juga ada kerugian kesehatan bagi pengguna jalan, di mana terjadi polusi udara yang saat macet 29 kali lebih tinggi dari pada polusi di jalanan yang tak terlalu padat.
UU Lalu Lintas
Dirinya juga mengkritisi sejumlah pejabat negara yang menggunakan jalan raya untuk menekan masyarakat. Dicontohkan, DLLAJR dari Kementerian Perhubungan menurut UU tugasnya menyiapkan infrastruktur jalan raya, bukan mengatur pemakai jalan bahkan melakukan razia.

Menurutnya, UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional.
John menduga ada tangan-tangan tersembunyi (invisible hand) yang memang hendak melanggengkan kemacetan di Jakarta. Indikator paling konkrit, panjang ruas jalan di Jakarta bisa berkurang 40% akibat pola pengaturan jalan. Yang mengurangi ruas, misal, yang harusnya bisa dua jalur, dijadikan hanya satu jalur. Akibatnya, untuk mencapai rumah atau kantor lebih lambat.
Dalam berlalu lintas ada tiga aspek yang perlu diperhatikan yakni, keamanan, keselamatan, dan ketertiban. “Pelanggaran yang paling inti, orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kelancaran lalu lintas tanpa disadari sudah melanggar UU 22/2009, karena salah satu komponen dalam regulasi tersebut adalah kelancaran berlalu lintas,” seru John.
Selain pengaturan satu arah, penyebab lain, lanjutnya, adalah dibuatnya sejumlah rambu larangan untuk melewati suatu jalan. Akibanya terjadi kemacetan. Jelas sekali nampak ada invisible hand dibalik macetnya Jakarta. Karena kelancaran lalu lintas harus menjadi dasar dari semuanya supaya mobilitas dan produktifitas orang tidak terganggu.
Belum lagi ada oknum-oknum entah siapa yang dengan sengaja memakai voorijder untuk membelah kemacetan. “Harusnya Kapolri menertibkan hal tersebut bahwa tidak harus semua pihak bisa memakai voorijder atau sirine di mobilnya,” ucapnya mengingatkan.
Naikkan pajak
Ditanya soal solusi, John beranggapan, pembelian mobil harus dibatasi. Juga menaikkan pajak kendaraan. “Satu rumah boleh memiliki satu mobil dengan pajak murah. Kalau punya dua mobil, pajaknya 30% dari harga mobil. Kalau punya 3 mobil, pajak mobil ke-3 nya sebesar 50% dari harga mobil. Itu namanya pajak yang berkeadilan. Dengan begitu, pemerintah akan lebih mudah mengalihkan warga menggunakan angkutan umum,” terang John.
Juga untuk membeli mobil harus dengan biaya mahal. Sekarang yang ada hanya dengan Rp 500 ribu orang sudah bisa membeli motor. Atau cukup uang beberapa juta saja sudah bisa mendapatkan mobil.
Begitu juga keberadaan LRT atau MRT, menurut John, sekalipun dibuat puluhan moda transportasi darat, kalau tidak ada pembatasan kendaraan, akan sia-sia saja.
Dirinya juga menyayangkan anggota dewan yang sepertinya kurang memperhatikan dan mencarikan solusi terkait kemacetan yang sudah kronis di Jakarta. “Perlu manajemen baru untuk menjamin kelancaran berlalu lintas. Tanpa ada political will dari pemerintah, mustahil peran invisible hand bisa diakhiri,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment