Jakarta, innews.co.id – Industri aviasi Indonesia sejatinya tidak terlalu terdampak dengan kebijakan tarif resiprokal yang akan diberlakukan Presiden AS Donald Trump. Ini karena Indonesia bukan pengekspor, melainkan importir.
“Hanya saja, kebijakan tersebut bisa menyulitkan para produsen pesawat terbang karena kesulitan menyusun rencana pembelian dan pemeliharaan,” kata praktisi hukum aviasi Andre Rahadian, SH., LL.M., M.Sc., dalam keterangan persnya, di Jakarta, Jumat (11/4/2025).
Apalagi, saat ini terkesan ada tarik ulur kenaikan tarif ekspor oleh Trump. Menurut Andre, hal tersebut bisa melahirkan ketidakpastian, bahkan ancaman bagi industri aviasi.
Ketidakpastian ini, lanjutnya, memperbesar risiko biaya operasional dan keterlambatan perawatan armada, yang pada akhirnya bisa memengaruhi keselamatan penerbangan.
“Industri aviasi sangat bergantung pada rantai pasok global yang stabil, terutama untuk suku cadang pesawat dan peralatan teknologi tinggi,” terang salah satu Founder Masyarakat Hukum Udara (MHU) ini.
Dikatakan, dunia penerbangan memerlukan kebijakan ekonomi yang konsisten agar dapat tetap kompetitif dan efisien dalam mendukung konektivitas global.
Bila pada akhirnya tarif dinaikkan, lanjut Partner Hanafiah Ponggawa & Partners Law Firm (Dentons HPRP) ini, pemerintah Indonesia bisa melakukan beberapa hal antara lain, mengurangi tarif impor terutama pada bahan bakar, suku cadang, dan peralatan lainnya yang digunakan oleh industri aviasi, melakukan efisiensi, meningkatkan kerjasama internasional, dan mengembangkan industri lokal.
Lebih jauh Andre mengatakan, justru dalam kondisi demikian bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dan kalangan swasta untuk membeli suku cadang pesawat atau bahkan pembelian pesawat, di mana bisa mendapat tarif lebih rendah karena akan mengurangi defisit perdagangan dengan AS.
Seperti diketahui, Presiden AS mengumumkan penangguhan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia. Akan tetapi, penundaan itu tidak berlaku untuk China yang mereka anggap menantang kebijakan AS. Data dari Gedung Putih pada 9 April 2025 menyebutkan, persentase tarif timbal balik untuk seluruh negara diturunkan ke angka 10% per 5 April lalu. (RN)