Jakarta, innews.co.id – Proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia sangat problematik dan potensial digunakan oleh rezim penguasa untuk merekayasa dan membelokkan sejarah bangsa sesuai dengan kehendak dan kepentingan politik rezim.
“Narasi yang sejauh ini disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait dengan penulisan ulang sejarah Indonesia hampir semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi dan muslihat alias ngawur,” kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, dalam pernyataan resminya yang diterima innews, di Jakarta, hari ini.
Dia mencontohkan, terkait statement publik, di mana Fadli Zon menyangkal tragedi pilu pemerkosaan massal pada 1998 dan pelanggaran HAM masa lalu pada umumnya.
“Selain tidak punya empati terhadap korban, Fadli, yang lahir dan tumbuh serta dikenal luas sejak lama sebagai pendukung dan pembela Orde Baru, juga berhalusinasi, mengarang bebas, dan bertentangan dengan pernyataan resmi negara sebelumnya melalui Presiden RI BJ Habibie, Penyelidikan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman, Investigasi dan Temuan Komnas HAM dan Komnas Perempuan serta berbagai studi ilmiah yang dilakukan oleh para intektual serta laporan pendampingan yang dilakukan oleh masyarakat sipil,” terangnya.
Hendardi mendesak agar Fadli Zon menarik berbagai ucapannya yang menyangkal pemerkosaan massal dan pelanggaran HAM masa lalu serta segera meminta maaf kepada publik, khususnya para korban dan keluarganya.
Dijelaskan, secara substantif, Kementerian Kebudayaan tidak memiliki otoritas menentukan narasi sejarah perjalanan bangsa. Kalaupun pemerintah memiliki niat baik untuk menyusun buku sejarah demi kepentingan pembelajaran, seharusnya itu dikoordinasikan oleh kementerian yang mengurusi pendidikan, entah itu Kemendikdasmen atau Kemendiktisaintek.
Dari sisi waktu, lanjutnya, juga tidak melaksanakan proyek ini secara tergesa-gesa. “Tidak ada kondisi obyektif yang menunjukkan kemendesakan dan kedaruratan sehingga penulisan ulang sejarah ini mesti selesai sebelum 17 Agustus 2025,” serunya.
Justru, hal tersebut menguatkan kesan publik bahwa dibalik proyek ini terdapat ambisi politik rezim untuk merekayasa dan membelokkan sejarah, memanfaatkan ungkapan “Sejarah adalah Milik Kaum Pemenang”.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya mengurungkan ambisi untuk mengada-ada dengan merekayasa dan membelokkan sejarah perjalanan bangsa secara insinuatif dan tergesa-gesa.
“Butuh dialog panjang, mendalam, dan inklusif terkait dengan fakta sejarah yang harus diakomodir dalam buku pembelajaran sejarah. Pada saat yang sama, Pemerintah RI harus menunjukkan itikad untuk mengungkapkan kebenaran dibalik kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dan saat ini, alih-alih secara instan dan represif menulis ulang sejarah sesuai dengan selera rezim,” tegasnya.
Seperti diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan sangat berambisi untuk melakukan penulisan ulang sejarah Indonesia. Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ditargetkan rampung sebelum peringatan HUT Kemerdekaan ke-80 pada 17 Agustus 2025. Tim penyusun sudah dibentuk yang dipimpin oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), Prof Susanto Zuhdi sebagai penanggung jawab utama. (RN)