Jakarta, innews.co.id – Rencana Kementerian Dalam Negeri memasukkan Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang ke wilayah Sumatera Utara sejak awal sudah ditentang oleh Pemerintah Aceh. Namun, tidak digubris. Hingga akhirnya keluar Keputusan Mendagri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, pada 25 April 2025.
Sontak hal tersebut memunculkan penolakan besar-besaran, baik dari Pemerintah Aceh, para tokoh maupun masyarakatnya. Tidak hanya di Aceh, tapi sudah meluas ke berbagai tempat.

“Kami menyesalkan terbitnya SK Mendagri tersebut,” kata Ketua Umum (Ketum) Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda (TIM) periode 2022-2026, Ir. H. Muslim Armas, dalam pernyataan resminya, di Jakarta, Senin (16/6/2025).
Dirinya mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto yang mengambilalih penyelesaian masalah tersebut. “Insyaallah besok kami akan menyurati Presiden Prabowo dan meminta kearifan beliau untuk memperhatikan kekondusifan masyarakat. Jangan sampai terciderai kedamaian yang telah susah payah dibangun di Aceh,” ujarnya.
Terkait pengalihan kepemilikan 4 pulau tersebut didasarkan pada penelitian geospasial, menurut Muslim, itu hanya sebuah data geografi. Namun, masalah tersebut tidak hanya terkait hal itu. “Yang paling utama menyangkut kesejarahan. Indonesia pun ada karena kesejarahan. Itu tidak bisa diabaikan,” tukasnya.
Selain itu, bukti administratif, di mana sejak dulu pun ke-4 pulau tersebut sudah masuk wilayah Aceh dan diakui di peta yang dibuat Belanda. Setelah kemerdekaan, kepemilikan semakin jelas. Juga, penghuni pulau-pulau tersebut, baik sebagai petani atau nelayan mayoritas orang-orang Aceh Singkil.
Juga ditegaskan lagi oleh peta topografi yang dibuat oleh TNI AD, tahun 1978. Ke-4 pulau tersebut meski berhadapan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, tapi ditarik garis batas wilayah oleh TNI AD, pulau ini termasuk wilayah Aceh. Itu juga diakui oleh Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar dan Mendagri Jenderal TNI (Purn) H. Rudini.
Selanjutnya, bukti fisik pengelolaan pulau ini, di mana pulau-pulau tersebut dikelola oleh orang Aceh Singkil. Tadinya mereka berkebun kelapa, tapi kemudian pindah ke daratan karena bekerja di kebun kelapa sawit. Masyarakat di sana juga ikut Pemilu atas nama wilayah Singkil. “Surat tanah juga dikeluarkan oleh BPN Aceh. Pun setiap ada kasus nelayan seperti pukat harimau dan lainnya diselesaikan oleh aparat penegak hukum wilayah Aceh,” urainya.
Belum lagi keberadaan dermaga, situs sejarah, makam-makam, dan lainnya, terkait dengan Aceh. Bahkan nama-nama pulaunya pun merupakan bahasa Jamee, salah satu bahasa di Aceh.
“Dengan begitu, jelas menunjukkan kepemilikan pulau tersebut adalah Aceh, bukan didasarkan pada geospasial semata,” tegasnya.
Nuansa politis
Benarkah ada nuansa politis dibalik pengalihan kepemilikan 4 pulau tersebut?
Muslim beranggapan, awalnya masalah pencatatan sejak tahun 2008 yang tidak tuntas. Puncaknya di 2025 ini, di mana justru dialihkan.
“Karena derasnya media sosial sehingga masyarakat bisa begitu cepat mendapatkan informasi. Ini yang kita khawatirkan menyangkut stabilitas di Aceh. Kalau sampai rakyat Aceh merasa kecewa dan tidak diperhatikan oleh Pemerintah Pusat, bisa kembali berkonflik. Ini tentu sangat tidak kita harapkan,” imbuhnya.
Menurutnya, isu-isu seperti ini mudah sekali ditunggangi oleh hal-hal yang berbau politik. Bisa saja ada kepentingan-kepentingan politik di pusat. Jangan sampai dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang memiliki agenda politik tertentu di Aceh. Tentu hal tersebut berpotensi merusak perdamaian di Aceh.
Soal statement Gubernur Sumut yang ingin mengelola 4 pulau tersebut bersama-sama dengan Pemerintah Aceh, kata Muslim, harus ada dasarnya. “Soal kepemilikan dulu yang harus ditentukan. Siapapun bisa mengelola. Pengelolaan adalah hal yang lain. Tidak pada tempatnya ketika kita mempersoalkan kepemilikan, yang muncul malah tawaran pengelolaan,” tandasnya.
“Apalagi bukti-bukti sudah jelas, tentu harus dikembalikan dulu kepemilikannya ke Aceh. Pihak swasta, BUMD, BUMN, atau perusahaan luar negeri pun bisa diminta mengelola pulau-pulau tersebut asal jelas siapa pemiliknya,” tuturnya.
Muslim menegaskan, jika Pemerintah Pusat bersikukuh ke-4 pulau tersebut milik Sumut pasti akan menimbulkan gejolak sosial. “Masyarakat Aceh akan berbondong-bondong menolaknya. Begitu juga stakeholder di Aceh akan menentang. Ini sangat membahayakan perdamaian yang ada di Aceh saat ini. Bila perdamaian di Aceh rusak, akan sulit menyembuhkannya lagi. Ini perlu dipertimbangkan. Tidak hanya bicara soal angka-angka atau peta diatas kertas, tapi ada masalah yang lebih besar yakni, merawat stabilitas perdamaian yang selama ini sudah terjalin baik di Aceh. Jangan mengulang sejarah lama,” pungkasnya mengingatkan. (RN)