Jakarta, innews.co.id – Akhir-akhir ini viral di berbagai media sosial adanya permintaan THR dari sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) kepada perusahaan-perusahaan, dengan beragam modus dan alasan.
“Permintaan THR berjamaah dari oknum-oknum, baik ormas, bahkan oknum di pemerintahan, aparat, dan sebagainya, memang kerap terjadi, terutama saat Hari Raya Idul Fitri atau Tahun Baru,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DKI Jakarta, Diana Dewi, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Diana mengaku mendapat informasi, ada yang meminta melalui surat resmi, ada juga yang langsung datang ke kantor untuk meminta, baik dalam bentuk uang maupun barang-barang kebutuhan Lebaran lainnya.
“Khusus di Bulan Ramadan, sebenarnya hal tersebut sudah terjadi sejak awal puasa. Umumnya permintaan dalam bentuk anggaran atau kebutuhan bukber,” tambah CEO Suri Nusantara Jaya Group ini.
Dirinya menilai, kondisi demikian tentu memberatkan para pengusaha. “Sebenarnya di periode ini kami justru mengalami kesulitan dan harus benar-benar melakukan pengetatan keuangan. Setidaknya, kami harus provide (menyediakan) untuk kebutuhan pokok perusahaan, termasuk membayar THR karyawan dan sebagainya. Untuk itu, kami harus berupaya extend agar cash flow perusahaan tidak berantakan,” terang Founder Toko Daging Nusantara ini.
Dirinya yakin, ia bersama rekan-rekan pengusaha sebenarnya sudah coba memberikan kelonggaran dalam bentuk partisipasi untuk kegiatan buka bersama. “Namun, kalau kami masih harus dibebani dengan permintaan “THR” yang kebanyakan fresh money untuk oknum-oknum tadi. Jujur saja, banyak teman-teman menjerit,” tukasnya.
Seperti terjadi di sejumlah tempat, anggota ormas tertentu sampai mengeluarkan ancaman bila THR tidak diberikan. “Kami prihatin kalau sampai ada ancaman. Kita juga kasihan kan sama karyawan yang menghadapinya,” imbuhnya.
Diana mengatakan, sebagai pengusaha, pihaknya juga memahami akan tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Namun, tentu ada mekanisme dan tidak modelnya seperti ‘dipalak’ begitu.
“Saya khawatir, kalau pemerintah membiarkan masalah tersebut akan jadi bumerang untuk memasukkan investasi dari luar. ‘Budaya’ seperti itu tidak ada di perusahaan-perusahaan luar. Karena itu, kalau ada perusahaan luar di Indonesia, pengusahanya akan bingung kalau sampai dimintai THR oleh oknum stakeholder atau ormas, apalagi dalam jumlah besar. Ini kan tentu sebuah kondisi yang tidak mengenakkan,” tegasnya.
Diana mengistilahkan hal tersebut sebagai ekonomi berbiaya tinggi, karena adanya permintaan dari pihak-pihak yang tidak semestinya. “Jangan sampai karena maraknya permintaan justru membuat pebisnis jadi berpikir ulang untuk membuka usaha. Atau malah menempatkan suatu perusahaan jadi gulung tikar karena banyak extra cost yang harus dikeluarkan. Yang rugi tentu pemerintah dan masyarakat juga,” seru Diana mengingatkan.
Dirinya menambahkan, ia selalu sarankan kepada rekan-rekan pengusaha agar bila memang kondisi di internalnya memungkinkan untuk berbagi silahkan saja. Namun, bila kondisi keuangan tidak memungkinkan, coba bicarakan baik-baik dengan oknum yang meminta tersebut. Tidak perlu takut, berikan saja mereka pengertian.
Di sejumlah tempat ada juga perusahaan yang sampai melaporkan permintaan THR tersebut sebagai upaya pemerasan ke aparat kepolisian.
“Sejauh ini, kami kesulitan untuk melaporkan. Kecuali kalau ada suatu hal yang menjurus pada tindak kekerasan, tentu akan kami laporkan ke aparat keamanan,” cetus Diana.
Baginya, harus ada penegasan secara tertulis dari pemerintah, baik di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi sampai Pemerintah Pusat, berupa surat pemberitahuan bahwa apabila ditemukan bentuk-bentuk permintaan dalam bentuk apapun di luar kepatutan bisa dilaporkan dan pemerintah akan menindak tegas. Sebab, tidak ada keharusan atau kewajiban perusahaan untuk memberi THR kepada pihak luar. (RN)