Kewajiban Menyimpan DHE Beratkan Pengusaha, Ini Masukan Diana Dewi

Ketum KADIN DKI Jakarta Diana Dewi memberikan keterangan kepada awak media

Jakarta, innews.co.id – Kewajiban eksportir ‘memarkir’ Devisa Hasil Ekspor (DHE) 100% di dalam negeri yang gaungkan pemerintah melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE), yang akan berlaku mulai 1 Maret 2025, dirasa memberatkan.

“Saya banyak dapat keluhan dari rekan-rekan pengusaha. Mereka menyampaikan keberatan mereka terhadap kebijakan tersebut,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DKI Jakarta, Diana Dewi, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Jumat (24/1/2025).

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni, Pertama, harus dipahami bahwa setiap komoditas memiliki siklus perdagangan atau trade cycle yang berbeda-beda, sehingga kebijakan tersebut tidak bisa disamaratakan kepada semua komoditas.

Kedua, pelaku usaha, terutama eksportir, harus memutar otak untuk menjaga likuiditas perusahaan mereka. Ketiga, kebijakan ini akan meningkatkan biaya modal kerja yang signifikan bagi para eksportir. Walaupun bunga yang ditawarkan untuk penempatan DHE lebih tinggi dari bunga deposito dolar AS saat ini, yaitu sekitar 2%-3% per tahun, perusahaan tetap harus meminjam dana untuk menutupi modal kerja yang tertahan. Selain itu, dikhawatirkan pengusaha jadi kesulitan untuk membayar pinjaman ke bank.

Keempat, kebijakan ini dikhawatirkan memiliki efek domino negatif terhadap sektor usaha lainnya. Bahkan, bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dikatakannya, mungkin tujuan dari regulasi ini adalah untuk menjaga ketahanan dan stabilitas ekonomi nasional di tengah tantangan geopolitik global. Diharapkan dengan diberlakukannya kebijakan DHE SDA terbaru, maka penambahan cadangan devisa akan bertambah dan memperkuat perekonomian Indonesia.

Namun, kata Diana, harus juga dilihat bahwa pemerintah memberikan pengecualian bagi eksportir dengan nilai ekspor di bawah US$ 250 ribu per transaksi tidak diwajibkan untuk mengikuti ketentuan pengelolaan DHE. Tujuannya, memberikan kelonggaran kepada eksportir kecil yang memiliki modal dan transaksi terbatas serta untuk melindungi usaha kecil agar tetap kompetitif di pasar internasional.

Terkait adanya pemberian insentif, menurut Diana, bila dikalkulasi tetap kurang memadai dengan risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan.

Seperti diketahui, bunga yang ditawarkan untuk penempatan DHE lebih tinggi dari bunga deposito dolar AS saat ini, yaitu sekitar 2%-3% per tahun. Untuk menutupi modal kerja yang tertahan karena harus ‘diparkir’ saja, perusahaan tetap harus meminjam dana.

Sebab, bila dihitung kembali, dengan deposito bunga pinjaman ditambah 1,5% dari bunga deposito, ujung-ujungnya perusahaan tetap harus mengeluarkan biaya tambahan.

“Bunga dan insentif yang diberikan membuat biaya tambahan yang lebih besar dari insentif yang ditawarkan. Dengan cash colleteral tentunya ada bunga yang harus dibayarkan. Ini pastinya akan lebih besar dari insentif yang diberikan. Artinya, akan ada extra cost yang dikeluarkan oleh eksportir,” jelas Founder Toko Daging Nusantara ini.

Diana menyarankan, sebaiknya pemerintah mengkaji ulang kebijakan ini dan membahas kembali dengan melibatkan para pengusaha.

“Pemerintah dapat mengkaji kembali aturan tersebut agar tidak memberatkan sektor ekspor yang menjadi andalan devisa negara. Yang dibutuhkan eksportir adalah insentif yang mendukung likuiditas tanpa menambah beban biaya,” tukasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan