
Jakarta, innews.co.id – Perhitungan surat suara ulang (PSU) merupakan jalan terbaik dan bukti komitmen dari pemerintah serta lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi untuk mewujudkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, yang jujur, adil, dan bermartabat.
Hal tersebut mengingat telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh KPU setempat sejak awalnya.
“Permohonan sengketa yang diajukan oleh Pemohon (paslon nomor urut 4, John Richard Banua-Marthin Yogobi), masuk kategori kejadian khusus, di mana Hakim Konstitusi bisa mengesampingkan syarat ambang batas untuk mengajukan permohonan sengketa suara hasil pemilihan kepala daerah, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 158 UU No.10 tahun 2016,” kata Ahli Prof Dr. Aswanto, SH, M.Si., DFM., Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar periode 2010-2014, yang juga ahli Hukum Pidana/Hukum Pemilu, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Minggu (19/1/2025).
Seperti diketahui, dari 4 paslon yang berlaga di Pilkada Jayawijaya, diduga terjadi penggabungan suara terhadap paslon nomor urut 2 Athenius Murip-Rony Elopere, oleh paslon nomor urut 1 dan 3.
Menurutnya, diduga pengalihan suara terjadi begitu massif dari total 40 Distrik yang tersebar pada 547 TPS di Kabupaten Jayawijaya yang senyatanya diketahui dan/atau disetujui oleh termohon termasuk Bawaslu Kabupaten Jayawijaya. Demikian juga terjadi penghilangan suara paslon nomor urut 4 secara beragam pada sebagian besar TPS.
Diterangkan, sejak awal tahapan Pendaftaran Bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Jayawijaya Tahun 2024 sudah bermasalah, karena Termohon (KPUD Jayawijaya) meloloskan dua paslon perorangan (independen) yakni, Anthonius Wetipo-Dekim Karoba (nomor urut 1) dan Esau Wetipo-Korneles Gombo (nomor urut 3).
Ahli mendorong MK untuk menyelesaikan sengketa Pilkada Jayawijaya dengan pola electoral justice.
“Pemilihan yang berkeadilan (electoral justice) terbagi atas 3 tahap, yakni tahap sebelum pemilihan (pre-electoral period), tahap pemilihan (electoral period), dan tahap setelah pemilihan (post-electoral period) yang bersifat integral, tidak terpisahkan, dan saling berkaitan antara satu dan lainnya. Oleh karena itu, sengketa pemilu tidak terpaku pada hitung-hitungan suara semata, tetapi perlu untuk menilik rangkaian proses penyelenggaraan pemilihan karena filosofi Pemilu dan Pilkada tidak hanya menjadi mekanisme formal untuk menentukan pemimpin tetapi juga menjadi medium penguatan kedaulatan rakyat dan menciptakan pemerintahan yang baik (good goverment) dengan prinsip berlandaskan hukum yang berkeadilan, dengan kata lain semua tahapan/proses pemilihan harus bersesuain dengan norma-norma hukum yang telah ditentukan,” terang Ahli.
Dalam petitumnya, Paslon urut 4 melalui kuasa hukumnya Ismail Maswatu dalam sidang pendahuluan dengan tegas meminta Hakim Konsititusi untuk membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua Pegunungan Nomor: 74 Tahun 2024 Tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Jayawijaya Tahun 2024, tertanggal 11 Desember 2024.
Berkaca pada kejadian khusus di Pilkada Hayawijaya, Ahli berpendapat, seyogyanya Hakim Konstitusi tidak hanya memutuskan pemohon memilik kedudukan hukum untuk mengajukan permohanan a quo, tetapi juga MK memutuskan bahwa perhitungan suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Jayawijaya tahun 2024, harus diulang dan pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten Jayawijaya yang tidak memenuhi syarat tidak diperbolehkan ikut dalam kontestasi pemilihan ulang. (RN)
Be the first to comment