Jakarta, innews.co.id – Massifnya pembangunan infrastruktur di pemerintahan Jokowi harusnya bisa menekan biaya logistik yang berujung pada penurunan harga jual berbagai produk dalam negeri. Sayangnya, yang terjadi tidak demikian.
“Harus diakui, dalam rangka pemerataan pembangunan sekaligus merubah stigma Jawa Sentris menjadi Indonesia Sentris, maka sepanjang pemerintahan Pak Jokowi banyak dilakukan pembangunan di berbagai daerah. Ini sesuatu yang bagus dan positif sekali,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Daerah Khusus Jakarta Diana Dewi, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Sabtu (21/9/2024).
Dikatakannya, dari data yang ada, bisa dikatakan pembangunan infrastruktur di era Presiden Jokowi (2014-2024) cukup massif. Upaya membuka konektivitas antar-daerah, baik melalui jalur darat, laut, dan udara, memiliki dampak cukup baik bagi pertumbuhan ekonomi.
Seperti diketahui, telah dibangun 27 bandar udara baru selama satu dekade ini. Pembangunan serta pengembangan pelabuhan dilakukan di 47 lokasi dan pelabuhan penyeberangan di 44 lokasi. Sementara ruas jalan yang terbangun sekitar 500 kilometer, terdiri dari jalan baru 377,5 km dan jalan tol 217,7 km. Sedangkan flyover atau underpass 1.260 meter. proyek-proyek tersebut menelan biaya ratusan triliun rupiah.
“Dibalik massifnya pembangunan infrastruktur tentu kita berharap bisa memiliki dampak ekonomi baik secara makro maupun mikro. Dan, memudahkan pergerakan logistik berpindah dari satu tempat ke tempat lain,” lanjut CEO Suri Nusantara Jaya Group ini.
Namun, kenyataannya tidak demikian. Biaya logistik masih saja tinggi. Itu artinya, masih ada yang perlu dikaji, apa penyebab harga-harga barang dalam negeri tidak turun signifikan.
Itu juga nampak di mana produk-produk lokal masih kalah bersaing dengan barang impor, terkhusus dari Tiongkok, lantaran harganya mahal. Artinya juga, kemajuan infrastruktur selama satu dekade ini belum dirasakan manfaatnya. Faktanya, kita belum menjadi tuan di negara sendiri karena apa yang dihasilkan masih berbiaya tinggi.
“Harusnya dengan pembenahan infrastruktur tersebut bisa menekan biaya logistik, sehingga terjadi penurunan harga jual. Sebab, lancarnya transportasi menjadi salah satu indikator makin kompetitifnya harga di pasaran, di mana lebih terjangkau oleh konsumen,” sebut Diana.
Analisa proyek
Kedepan, Diana berharap kondisi demikian bisa dianalisis oleh pemerintahan yang baru sehingga mengetahui apa yang masih menjadi kelemahan dan membuat biaya logistik masih selangit.
“Sebagai pengusaha kami berharap pemerintahan Prabowo-Gibran tidak hanya fokus membangun infrastruktur, tapi bagaimana memaksimalkan potensi-potensi yang ada dalam kaitan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” ujar Founder Toko Daging Nusantara ini.
Pemerintahan baru, sambungnya, bisa lebih jeli melihat celah dan potensi yang bisa dikolaborasikan. “Infrastruktur tetap harus dibangun, namun harus lebih dianalisis kemanfaatan dan potensinya. Jangan proyek-proyek infrastruktur yang dibangun jadi mubazir karena butuh waktu lama untuk menjadi penggerak perekonomian,” tegasnya.
Selain itu, pemerintahan kedepan harusnya fokus pada bagaimana mendongkrak perekonomian dan membuka seluas-luasnya kesempatan kerja. Dengan kata lain bisa mendatangkan investor secara riil, bukan investasi di pasar modal yang tidak berdampak bagi penyerapan tenaga kerja secara umum.
Bagi Diana, target pertumbuhan ekonomi 8% butuh effort yang kuat serta dimensi berpikir yang analitik, kreatif, dan inovatif. Karena itu, selain membuka ruang-ruang berusaha, peningkatan kapasitas angkatan kerja juga harus dimassifkan. Pengalokasian anggaran negara harus lebih jelas dan terarah disertai target dan pengawasan yang konkrit. (RN)
Be the first to comment