Dugaan Pemalsuan Putusan MA, Saksi Dari Marthen Napang Malah Memberatkan Terdakwa

Tiga saksi dihadirkan di PN Jakpus, Selasa (12/11/2024)

Jakarta, innews.co.id – Tiga orang saksi yang dihadirkan oleh kuasa hukim terdakwa Marthen Napang dakam perkara penipuan, penggelapan, dan pemalsuan putusan Mahkamah Agung, harusnya bisa meringankan. Namun, faktanya terkesan justru malah memberatkan terdakwa.

Hal tersebut nampak dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (12/11/2024).

Sebelum memberikan keterangan, ketiganya disumpah. Lisa Merry, salah seorang saksi menuturkan dirinya bertemu dengan Marthen Napang pada 12 Juni 2017 di kediamannya untuk menyerahkan undangan sidang di kampus. Esok harinya, ia mengaku ketemu terdakwa di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar.

Ketiga saksi yang dihadirkan kuasa hukum terdakwa sedang diambil sumpah sebelum memberikan keterangan

Namun, dari manifest penerbangan yang ditunjukkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), jelas-jelas menyatakan bahwa Marthen baru terbang dari Jakarta ke Makassar pada 13 Juni 2017. Artinya, pada 12 Juni terdakwa belum berada di Makassar.

“Saudari saksi kan tadi sudah di sumpah ya. Jadi harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Tidak boleh berbohong atau merekayasa jawaban,” tegas JPU.

Sontak saksi dengan volume suara yang awalnya begitu lantang langsung mengecil dan berujar, “Ya kurang lebih tanggal segitu. Saya tidak tahu, mungkin lupa”.

Ketika JPU menunjukkan manifest penerbangan kepada Majelis Hakim, tampak kuasa hukum terdakwa coba mengajari saksi Lisa untuk memberi jawaban. Namun, ketahuan dan langsung ditegur oleh JPU. “Saudara kuasa hukum jangan mengajari saksi untuk menjawab,” seru JPU.

Lanjut JPU meminta Lisa menunjukkan bukti bahwa dirinya bertemu Marthen di tanggal 12 Juni. Namun, saksi tidak bisa menunjukkan. “Saya punya bukti manifest penerbangan. Saudari saksi punya bukti apa sehingga bisa menyangkal manifest penerbangan ini?” kejar JPU.

Kembali Lisa diingatkan untuk berkata dengan jujur dan benar. Kuasa hukum terdakwa coba menengarai, “Ya bisa saja terdakwa pergi ke Jakarta malam, lantas besok paginya sudah kembali ke Makassar”.

Sontak jawaban kuasa hukum mengundang tawa peserta sidang yang hadir.

PNS dilarang beracara di pengadilan

Saksi lainnya, Prof. Dr. Maskun, kolega Marthen, mengaku tidak bertemu terdakwa di tanggal 12 dan 13 Juni. Namun dia berdalih, “Meski kami sama-sama di Jurusan Hukum Internasional, tapi kan ada banyak ruangan di Unhas, jadi bisa saja tidak ketemu”. Namun, keterangannya cukup memperkuat dugaan bahwa terdakwa memang tidak ada di Makassar pada 12 Juni.

Ketika ditanya apakah boleh pegawai negeri sipil (PNS) seperti Marthen memiliki kantor pengacara (Lawfirm), dengan lugas Maskun mengatakan, “Tidak boleh”.

“Seorang PNS, dalam hal ini dosen di perguruan tinggi memiliki tugas tridharma yang salah satunya adalah pengabdian ke masyarakat. Misal, melakukan penyuluhan hukum, konsultasi hukum non profit, tapi tidak boleh menangani litigasi di pengadilan,” bebernya.

Ketika ditelusuri, kepada penyidik yang tertera dalam berita acara pemeriksaan (BAP), Marthen mengaku memiliki kantor lawfirm. Bahkan, di sidang-sidang awal, kuasa hukumnya sudah menyebutkan lawfirm milik Marthen, yang katanya berada di Graha Mandiri, sama dengan kantor Pelapor Dr. John Palinggi, hanya beda lantai.

Bawa absen dosen

Saksi terakhir, Kamaruddin mantan Kepala Bagian Tata Usaha Unhas, dengan membawa buku absensi dosen menunjukkan bahwa pada 12 dan 13 Juni, Marthen mengisi absen. Sayangnya, bukti yang dibawa kurang meyakinkan. Pasalnya, saat ditunjukkan ke hadapan Majelis Hakim, tampak lembaran absensi dosen tumpang tindih.

JPU langsung meragukan buku absen yang dibawa Kamaruddin. Dipertanyakan, mengapa dirinya bisa membawa buku absen dosen tersebut, padahal dirinya sudah pensiun.

Dirinya juga mengaku tidak bertemu dengan Marthen di tanggal 12 dan 13 Juni.

“Di tempat Anda, apa biasa ada dosen yang rapel atau suka titip-titip tanda tangan?” tanya JPU.

Kamaruddin awalnya mengaku tidak tahu. Namun diralat dan mengatakan, “Ketika saya pegang (buku absen), setahu saya tidak ada”.

Ketua Majelis Hakim Buyung Dwikora menengahi, “Kan biasanya ada yang suka titip-titip absen, tidak hanya dosen, mahasiswa maupun pegawai kan juga banyak yang begitu”.

JPU nampak mencecar ketiga saksi dengan pertanyaan-pertanyaan menohok untuk membongkar perkara ini.

“Sidang kali ini sudah cukup melihat adanya kebohongan-kebohongan dari terdakwa yang coba ditutup-tutupi. Keterangan saksi justru memperkuat hal tersebut. Majelis Hakim tentu sudah bisa makin jernih melihat perkara ini,” kata kuasa hukum Pelapor, Muhammad Iqbal, usai sidang. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan