Jakarta, innews.co.id – Indonesia harusnya bisa menjadi target utama investor dari luar negeri. Dan, unggul dari negara-negara tetangga di lingkup ASEAN. Mengingat Indonesia memiliki wilayah yang luas, potensi sumber daya alam yang besar, dan banyaknya jumlah angkatan tenaga kerja.
Namun, faktanya tidak demikian. Justru Indonesia kalah bersaing dari Malaysia dan Vietnam dalam merebut hati para investor mancanegara.
“Indonesia harusnya jadi primadona para investor luar negeri. Kalau yang terjadi sebaliknya, patut dipertanyakan, apa yang salah,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Daerah Khusus Jakarta, Diana Dewi, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Diana mengungkapkan sejumlah faktor penyebab kalang bersaingnya Indonesia dibanding Malaysia dan Vietnam dalam merebut hati investor luar negeri.
Pertama, birokrasi yang masih berbelit-belit. “Bahkan, sudah keluarnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) hingga Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) pun tidak lantas menjamin investasi mudah masuk. Karena di lapangan masih ada pihak-pihak yang ‘bermain’ dan mempersulit perizinan. Keluhan terkait berbelitnya birokrasi perizinan investasi di Indonesia banyak disampaikan pengusaha luar negeri,” kata Diana Dewi.
Hal ini nampaknya sangat sulit dikontrol oleh pemerintah. Parahnya lagi, seperti ada kejadian, sudah diberi izin ke perusahaan A, tapi mendadak dicabut dan diberikan ke perusahaan B.
Kedua, tingginya pungutan liar (pungli). Investor dalam negeri pun merasakan hal ini. Pungli dilakukan mulai dari mengurus perizinan, sampai pembangunan pabrik misalnya. Oknum pelakunya pun, mulai dari pejabat pemerintah dari atas sampai bawah dan ormas. Jadi, diberlakukan semacam upeti yang harus dibayar oleh pelaku usaha. Nilainya bisa mencapai 30% dari nilai investasinya. Akibatnya, terjadi kenaikan anggaran yang tidak semestinya.
Ketiga, kepastian hukum. Masih tumpang tindihnya regulasi jelas mempersulit pelaku usaha. Mana yang harus ditaati jadinya. Ini melahirkan kebingungan bagi pelaku usaha. “Tentunya, para pelaku usaha akan lebih mencari negara mana yang regulasinya lebih friendly. Belum lagi, penindakan bagi pelanggar hukum masih lemah. Hal ini membuat para pelaku usaha menilai belum ada keseriusan dari aparat penegak hukum di Indonesia,” jelas CEO Suri Nusantara Jaya Group ini.
Karenanya, lanjut Diana, kalau pemerintah selalu mengatakan optimis akan banyak masuk investasi, tanpa dibarengi dengan pembenahan berbagai hal diatas, rasanya itu cuma wacana saja. “Sebutan Indonesia sebagai surga dan primadona nya para investor cuma lip service saja tanpa dibarengi keseriusan membenahi regulasi, menghentikan pungli, dan memberi kepastian hukum,” tegas Founder Toko Daging Nusantara ini.
Diana beranggapan, setiap investasi riil harus bisa menekan angka pengangguran. Bila tidak, artinya investasi yang dilihat hanya di pasar modal saja, dan itu tidak masuk hitungan signifikan sebenarnya. (RN)
Be the first to comment