
Jakarta, innews.co.id – Meski dikatakan bertujuan mendongkrak pendapatan daerah, namun faktanya, pengenaan opsen pajak sebagai pungutan tambahan berpotensi menghadirkan beban baru bagi wajib pajak. Selain itu, pengenaan opsen dengan persentase tertentu secara tidak langsung akan mendistorsi pendapatan daerah apabila salah dalam menentukan tarif.
Penegasan itu disampaikan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DKI Jakarta, Hj. Diana Dewi, SE., dalam keterangannya di Jakarta, Senin (14/10/2024).
Seperti diketahui, pengenaan opsen pajak tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), di mana hal tersebut akan melekat pada 3 tiga jenis pajak, yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batubara (MBLB).
“Kecenderungan daerah untuk menetapkan tarif pajak maksimal akan berdampak pada tingginya opsen yang dibebankan kepada wajib pajak. Jadi, opsen sebagai pungutan tambahan mendulang resistensi wajib pajak, khususnya pelaku usaha,” jelas Diana.
Dirinya menerangkan, opsen pajak merupakan pungutan tambahan dengan akumulasi yang tidak melebihi tarif pajak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pada UU 28/2009 disebutkan, tarif PKB adalah 2%, sementara pada UU 2/2022 dikatakan 1,5%. Bila opsen PKB dikenakan 40% dari tarif tersebut atau 0,6%, maka wajib pajak harus membayar sebesar 2,1%, justru lebih besar daripada tarif existing.
Begitu juga tarif BBNKB maksimal, menurut UU 28/2009 sebesar 20% plus tarif progresif, sementara UU 1/2022 juga sama dengan opsen 30% dari tarif tersebut (6%), namun sistem progresif dihilangkan.
Jadi, wajib pajak harus membayar 26%, terjadi kenaikan beban wajib pajak sebesar 6%. Karenanya, ketentuan ini justru akan membebani mayoritas pemilik kendaraan pertama, karena tidak semua wajib pajak terkena kewajiban untuk membayar progresif dan tidak semua wajib pajak memiliki kendaraan ganda atau lebih.
Sementara untuk pajak MBLB, bila pemda kabupaten/kota menetapkan tarif pajak MBLB sebesar 20%, sesuai UU 1/2022, dengan opsen sekitar 5%, maka tidak akan terlalu menjadi beban bagi wajib pajak karena dalam UU 28/2009 sudah ditetapkan sebesar 25%.
“Kami mengusulkan agar tarif opsen perlu diselaraskan agar tambahan pungutan tersebut tidak menimbulkan distorsi beban pajak dibandingkan dengan tarif existing,” saran CEO Suri Nusantara Jaya Group ini.
Selain itu, sambung Diana, definisi opsen bisa dirubah menjadi skema bagi hasil. Di mana bukan mengatur bagi hasil yang bersumber dari penerimaan yang terkumpul, melainkan opsen mengatur tata laksana administrasi pembagian ketika menerima setoran pajak oleh wajib pajak.
Hal ini tentu tidak akan membebani wajib pajak karena pembagian dilakukan secara administratif tanpa konsekuensi tarif.
“Kedepan, pemerintah harus memberikan batasan definisi opsen secara jelas dan memastikan kalkulasi opsen tidak akan membebani wajib pajak, khususnya pelaku usaha,” tukasnya. (RN)
Be the first to comment