Ketum KADIN Jakarta: WFA Tak Tepat Bagi Pegawai Swasta

Diana Dewi, Ketua Umum KADIN DK Jakarta yang juga dikenal sebagai pengusaha sukses dan aktif di sejumlah organisasi

Jakarta, innews.co.id – Wacana memberlakukan work from anywhere (WFA) jelang Lebaran dirasa tidak tepat, apalagi bagi pegawai swasta.

“Mungkin untuk lingkup pekerjaan marketing freelance atau konsultan bisa-bisa saja. Namun, hal seperti itu kurang pas diterapkan terutama oleh swasta, apalagi seperti untuk sektor manufaktur, retail, dan lainnya,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jakarta, Diana Dewi, dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Menurut Diana, model seperti itu tidak bisa dipukul rata untuk diberlakukan kepada semua industri.

Saat pandemi, lanjut CEO Suri Nusantara Jaya Group ini, pola WFH bisa saja diterapkan, semata-mata untuk menghindari penyebaran virus Covid-19. Alasan itu tentu bisa diterima karena memang di masa itu, selain penyebaran virusnya masif juga banyak orang telah jadi korban. Jadi, penerapan WFH ketika itu lebih kepada pertimbangan kemanusiaan.

Dampak negatif

Lanjut Diana menguraikan, ada beberapa dampak negatif bila WFA diberlakukan, utamanya bagi swasta antara lain, kurangnya pengawasan, keamanan data perusahaan yang diragukan, lambat dalam mengambil keputusan karena harus koordinasi sana-sini lebih dulu, lemahnya pengontrolan terhadap kinerja karyawan, kemungkinan ada gangguan dari lingkungan yang menyebabkan terganggunya pekerjaan, dan lainnya.

“Bicara bekerja, tidak hanya bagaimana seseorang melakukan suatu pekerjaan kemudian digaji. Tapi ada hal esensial yang lebih dari itu, yakni hubungan sosial. Ini juga merupakan bagian penting yang ikut menentukan, baik perjalanan suatu bisnis, maupun perkembangan emosional (EQ) secara pribadi,” urai Founder Toko Daging Nusantara ini.

Dengan bekerja bersama di kantor, maka pekerja bisa saling berinteraksi langsung dengan rekannya. Mungkin ada suatu kendala dalam pekerjaan, bisa dicarikan solusi langsung. Bandingkan bila harus bekerja sendiri di luar kantor. Meskipun teknologi sudah maju, belum tentu kita dengan mudah menghubungi pihak lain untuk sharing apalagi mencari solusi. “Dalam membangun suatu bisnis, yang perlu diciptakan adalah super team, bukan super man,” tegasnya.

Idealnya, setiap pekerja melakukan pekerjaannya di kantor, sehingga memudahkan dalam koordinasi, pengawasan, dan pengambilan keputusan.

“Pekerja yang melakukan WFA bisa menjadi tidak produktif dan cenderung sulit untuk bekerja secara sewajarnya. Kalau pekerjanya di rumah, bisa ada gangguan dari pihak lain atau sambil membereskan hal-hal di rumah. Kalau pekerjanya di luar rumah, misal di cafe atau tempat lainnya, maka cenderung ada extra cost yang harus dikeluarkan. Sementara perusahaan juga mengalami kebingungan terkait jam kerjanya,” imbuh Diana.

Karenanya, penerapan WFA di masa Lebaran 2025 tidaklah tepat, meski alasannya untuk mengurai kemacetan. Bahkan bagi aparatur sipil negara (ASN), pola WFA pun kurang tepat karena bisa mengurangi pelayanan kepada masyarakat. Akibatnya, urusan administrasi di masyarakat bisa berjalan lambat.

Diana mengusulkan, mungkin bisa diterapkan pola cuti kerja secara bertahap. Sehingga bila ada pekerja yang mudik, bisa dilakukan lebih awal. Jadi, perusahaan bisa mengatur waktu cuti bertahap dengan kuota tertentu. Misal, ada yang diberi kesempatan cuti H-4 sebelum Lebaran dengan kepulangan tentu lebih cepat dibanding yang cuti di H-2 sebelum Lebaran. Bisa juga diatur ada karyawan yang cuti H+1 setelah Lebaran. Sementara untuk mudik bagi non-karyawan (pekerja lepas), di mana biasanya disediakan bis oleh pemerintah bisa dilakukan mulai H-8. Pengaturan ini setidaknya sebagai antisipasi untuk mengurangi kemacetan. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan