Jakarta, innews.co.id – Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyayangkan terbunuhnya secara tragis seorang ibu penyandang disabilitas Mama Hetina Mirip di Kampung Jaindapa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah.
“Ditaksir Mama Hetina terbunuh sekitar 19-20 Mei 2025. Jenazah ditemukan warga oleh warga kampung dalam keadaan terkubur secara tidak layak,” kata Komisi Papua PGI, dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (30/5/2025).
Informasi yang diterima PGI, kejadian tersebut diketahui usai aksi penyerangan pasukan TNI/Polri terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di wilayah Hitadipa dan Sugapa pada 14 Mei 2025.
Namun, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Kristomei Sianturi membantah hal tersebut. Dia menyatakan bahwa TNI tidak terlibat dalam penembakan yang menyebabkan kematian Mama Hetina.
“Saat ini, Komisi Papua PGI terus mengumpulkan informasi untuk mengetahui kronologi kejadian tersebut secara lebih lengkap guna menentukan sikap dan langkah yang tepat sebagai organisasi keagamaan yang berfungsi memfasilitasi gereja-gereja Kristen di Indonesia, serta menjadi mitra pemerintah dalam meningkatkan mutu kehidupan masyarakat,” jelas PGI.
Dikatakannya, kasus Mama Hetina telah menambah daftar panjang kematian warga sipil tak bersenjata akibat eskalasi kekerasan di Tanah Papua. Hal ini menimbulkan trauma bagi masyarakat, terutama para perempuan dan anak yang terdampak secara langsung, terlebih bagi mereka yang hidup dan tinggal di wilayah konflik.
Tragedi kemanusiaan ini tampak seperti cerita tiada berakhir karena Mama Hetina bukanlah korban pertama yang tewas akibat konflik bersenjata dan siklus kekerasan yang terus berulang di Papua.
Berkaca pada hal tersebut, PGI menyatakan sikapnya yang diteken oleh Sekretaris Umumnya Pdt. Darwin Darmawan sebagai berikut:
1. Berduka cita secara mendalam atas kematian Mama Hetina Mirip dan para korban warga sipil lainnya akibat konflik bersenjata.
2. Berempati kepada para korban yang sudah terus berjatuhan dari kedua pihak yang terlibat konflik bersenjata.
3. Meminta aparat penegak hukum (baik penegak hukum sipil maupun penegak hukum militer) untuk mengusut tuntas peristiwa yang ada dan membawa pelaku pembunuhan perempuan warga sipil penyandang disabilitas ke dalam proses hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Meminta Komnas HAM Republik Indonesia untuk segera melakukan investigasi secara independen dan menyampaikan laporan atas peristiwa yang ada secara transparan kepada publik, sekaligus sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap proses hukum kepada pelakunya.
5. Memohon Presiden Republik Indonesia untuk segera menghentikan operasi militer yang sedang terjadi saat ini di wilayah konflik Papua untuk mencegah makin bertambah jatuhnya korban masyarakat sipil tak bersalah dan mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan kebijakan yang mendorong terciptanya perdamaian di Tanah Papua melalui pendekatan dialog dan pemulihan kondisi kemanusiaan. (RN)