Jakarta, innews.co.id – Meski terbilang sudah cukup lama muncul, namun istilah gig economy masih belum terlalu populer di Indonesia. Banyak orang menganggapnya sama dengan pekerja kontrak, padahal berbeda.
“Munculnya gig economy merupakan respon terhadap perkembangan dunia kerja yang tentunya memiliki plus minus dalam implementasinya,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Daerah Khusus Jakarta Diana Dewi, kepada innews, di Jakarta, Minggu (22/9/2024).
Dijelaskan, mereka yang menjalankan model gig economy atau disebut juga dengan gig worker ini adalah pekerja tidak tetap berdasarkan proyek atau dengan jangka waktu tertentu. Umumnya, kontrak pekerja gig bersifat jangka pendek, temporer, atau satu kali proyek putus. Di mana ciri-ciri pekerja gig ditandai dengan pekerjaan bersifat independen, kerja temporer, berdasarkan proyek jangka pendek, serta jadwal dan ruang kerja yang relatif fleksibel.
Diana menjelaskan, de facto, ada banyak orang yang lebih memilih bekerja secara lepas (freelancer). Mungkin dengan waktu yang lebih fleksibel, seseorang bisa mengerjakan beberapa pekerjaan, dibandingkan harus terikat sebagai karyawan tetap, di mana waktunya habis terbuang di kantor, yang mungkin dari sisi load pekerjaan tidak terlalu banyak.
“Banyak generasi masa kini yang justru lebih enjoy dengan sistem gig economy. Bahkan di luar negeri, mahasiswa misalnya bisa bekerja sampingan di restoran atau tempat lainnya yang dibayar per jam,” jelasnya.
Diperkirakan, jumlah gig worker pada 2023 diperkirakan mencapai lebih dari 78 juta orang di seluruh dunia dengan nilai ekonomi mencapai USD 298 miliar. Di Indonesia sendiri diperkirakan ada sekitar 6 juta gig worker.
“Itu artinya banyak juga orang yang menaruh minat pada sistem tersebut. Juga banyak orang yang sukses menjalani gig economy,” kata Komisaris Independen PT Angkasa Pura Support ini.
Namun, semua kembali pada kebutuhan masing-masing perusahaan saja. Tentunya tidak semua bidang kerja bisa menerapkan sistem tersebut. Karena bila berganti-ganti orang dalam satu bidang pekerjaan tertentu membutuhkan waktu untuk mentreatment kembali.
“Saya yakin, para calon pencari kerja tentu sudah mempertimbangkan baik buruknya dalam memilih sistem kerja, entah itu gig economy, kontrak, atau permanen,” imbuh CEO Suri Nusantara Jaya Group ini.
Pada banyak perusahaan, model gig economy terkadang menjadi alat untuk mencari pekerja yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan.
“Gig economy bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan. Intinya bukan pada sistem kerja, tapi bagaimana seorang calon pekerja bisa mempersiapkan diri, melengkapi kompetensi dirinya dengan baik. Pun mereka yang sudah bekerja pun dituntut semakin adaptif dengan lingkup pekerjaannya, termasuk kemajuan teknologi. Karena seseorang yang memiliki keahlian dan kompetensi yang mumpuni pasti akan diburu oleh perusahaan,” urai Founder Toko Daging Nusantara ini.
Menurut Diana, saat ini setiap angkatan kerja dituntut untuk terus belajar dan memperkaya khasanah keilmuan dan pengalamannya. Bahkan, bila perlu setiap pekerja bisa memiliki sertifikasi sebagai bentuk pengakuan atas keahlian yang dimiliki.
“Jadilah pekerja yang kuat dan bermental baja. Jangan jadi pekerja yang cengeng. Sistem kerja boleh bermacam-macam, tapi ketika kita memiliki kompetensi yang mumpuni, maka pasti akan selalu mendapat tempat untuk bekerja,” tukasnya. (RN)