Jakarta, innews.co.id – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berulang kali menegur kuasa hukum terdakwa Prof Marthen Napang. Pasalnya, kuasa hukum terdakwa terkesan mencari-cari kesalahan saksi pelapor yang dihadirkan pada sidang tersebut.
“Saya minta kuasa hukum terdakwa untuk fokus pada perkaranya, bukan mau menyalah-nyalahkan saksi pelapor. Anda kan membela terdakwa, buktikan saja kalau terdakwa ini tidak bersalah, bukan malah mencari-cari kesalahan saksi pelapor,” ujar Ketua Majelis Hakim lantang, di muka persidangan dengan agenda menghadirkan saksi pelapor Dr. John Palinggi, di ruang sidang Oemar Seno Adji 2, PN Jakpus, Selasa (3/9/2024).
Namun tim kuasa hukum terdakwa berjumlah sekitar 5 orang tersebutnya seperti tidak menggubris himbauan majelis hakim. Karena pertanyaan-pertanyaan yang terlontar terkesan keluar dari konteks perkara. Namun dengan sabar, saksi pelapor meladeni pertanyaan demi pertanyaan yang terlontar.
Kuasa hukum terdakwa meminta agar sidang yang menghadirkan saksi pelapor tersebut dilanjutkan ke minggu depan. Mereka mengaku masih punya banyak pertanyaan. “Tidak apa, saya akan layani supaya kasus ini terbuka dan terang benderang. Karena semua itu memang saya alami, jadi saya santai saja menjawabnya,” kata John Palinggi, usai sidang.
Niat membantu
Dengan gamblang John memaparkan bagaimana awal mula terdakwa datang ke kantornya dan meminta ruangan untuk dijadikan kantor pengacara. Padahal, Marthen Napang tercatat sebagai aparatur sipil negara (ASN), yakni guru besar dan dosen di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
John secara lugas juga menguraikan bagaimana terdakwa meminta uang untuk operasional dan fee pengacara saat mengurus perkara peninjauan kembali dari Aki Setiawan, orangtua angkat John Palinggi di Mahkamah Agung RI.
Total dana yang diberikan ke Marthen Napang mencapai Rp 850 juta, yang ditransfer ke-3 nomor rekening yang berbeda. “Pak Aki Setiawan sudah seperti orangtua saya sendiri. Beliau banyak membantu ketika saya bekerja di perusahaan kayu di Kalimantan Timur. Beliau cerita ada kasus tanah miliknya di Mempawah, Kalimantan Barat, yang saat ini tengah berproses hukum di MA. Mendengar cerita beliau, saya tergerak untuk membantu mencarikan solusinya,” aku Presiden Direktur PT Karsa Mulindo Semesta Group ini.
Hingga suatu hari, terdakwa yang sudah mendapat ruangan dan sejumlah fasilitas kantor, mendatangi ruangan John serta menanyakan, kalau ada perkara yang bisa dibantu. Teringat akan kasus Aki Setiawan, John pun mempercayakan pada Marthen untuk mengurusnya, mengingat dia mengaku sebagai seorang pengacara.
Apalagi, di ruangan John, terdakwa sempat pamer sejumlah putusan MA yang pernah ia menangkan. Seiring waktu, Marthen mengatakan perkara Aki telah menang. Ia pun kembali meminta sejumlah uang sebagai success fee. Putusan dikirim melalui e-mail.
Beberapa hari setelah menerima putusan yang bertulis ‘Kabul’ itu, John coba mengecek ke MA. Bak disambar kilat di siang bolong, pihak MA menyatakan putusan tersebut palsu. Bahkan, yang sebenarnya tertulis ‘Ditolak’.
Geram dengan kelakuan Marthen, John langsung mengontaknya dan meminta uangnya kembali. “Saya merasa sangat malu sekali kepada Pak Aki karena ternyata putusannya ‘Ditolak’. Benar-benar keterlaluan,” imbuh John.
Hari ke hari, John semakin sulit menghubungi terdakwa. Karena tahu terdakwa menjadi dosen di Unhas, John menyurati rektor mempertanyakan keberadaan terdakwa. Namun, itu justru jadi senjata bagi Marthen untuk mentersangkakan John. Alhasil, selama 17 bulan John ditetapkan sebagai tersangka oleh Polrestabes Makassar.
Akhirnya, kasus itu dipetieskan oleh penyidik setelah melalui gelar perkara. Yang terjadi, Polrestabes Makassar malah dipraperadilankan oleh terdakwa, namun ditolak. “Sudah saya ditipu dengan putusan bodong, malah saya dijadikan sebagai tersangka. Bingung saya. Bisnis saya jadi kacau ketika itu dan status tersebut jadi beban berat di keluarga saja,” aku pengamat militer dan kepolisian ini.
Tak menunggu lama, John mempolisikan Marthen di Polrestabes Makassar melakukan tindak pidana memberikan keterangan palsu. Sampai akhirnya divonis PN Makassar hukuman 6 bulan penjara.
Marthen juga dilaporkan di Polda Metro Jaya. Saat ini dia sudah menjadi tahanan Kejaksaan Jakarta Pusat dan mendekam di Rutan Salemba. (RN)
Be the first to comment