Jakarta, innews.co.id – Merebaknya kasus Kenny Wisha Sonda in house counsel di PT Energy Equity Epic Sengkang (EEES), yang saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, seolah membuka tabir mengenai tugas dari in house counsel atau corporate lawyers. Apa sebenarnya tugas mereka?
Advokat senior Dr. Denny Kailimang mengatakan, sah-sah saja seorang in house counsel memberikan opini. Hanya saja, opini yang diberikan lebih bersifat internal dan tidak mengikat pihak luar perusahaan/company. Soal dipakai atau tidaknya opini itu tergantung pada direksinya.
“Sementara untuk bertindak keluar adalah direksi atau kuasa direksi, sesuai dengan SOP di perusahaan tersebut” kata Denny.
Dengan kata lain, tindakan perusahaan merupakan tindakan direksi, bukan corporate lawyer atau in house counsel. “Kalau sudah berhubungan dengan pihak luar tetap tanggung jawab direksi. Tidak bisa itu dibebankan kepada in house lawyers,” tukasnya.
Tidak independen
Di sisi lain, Advokat Senior Darwin Aritonang, SH., MH., menjelaskan tanpa bermaksud mengomentari proses hukum yang saat ini sedang berjalan di pengadilan, bahwa seorang advokat, baik itu in house counsel maupun profesional lawyer hanya dapat memberikan legal opinion sepanjang memenuhi ketentuan yang terkait.
Salah satu ketentuan yang dimaksud seperti pada Preambule Kode Etik Advokat Indonesia, di mana pada paragraf ke-2 dikatakan, “Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan”.
Sementara pada pasal 3 huruf c Kode Etik Advokat Indonesia menyebutkan: “Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia”.
Hal yang mirip dengan itu juga termaktub pada Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yakni, “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan”.
Dari uraian di atas, terkait in house counsel, menurut Darwin Aritonang, dalam menjalankan tugasnya, sifatnya hanya sebatas compliance (kepatuhan) terhadap regulasi yang berlaku saja. Akan tetapi apabila terdapat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan suatu pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan, maka legal opinion wajib dikeluarkan oleh profesional lawyer.
“In house counsel tidak dapat mengeluarkan legal opinion atas suatu perbedaan penafsiran pasal tertentu. Karena dia tidak akan bisa memenuhi ketentuan Paragraf 2 Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia, Pasal 3 huruf c Kode Etik Advokat Indonesia, dan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat. Sebab, seorang in house counsel bukan sosok yang independen lantaran dia merupakan karyawan dari perusahaan.” jelasnya.
Menurut Darwin, sebaiknya para in house counsel menyarankan kepada perusahaan untuk menggunakan keahlian advokat profesional apabila perusahaan membutuhkan suatu legal opinion yang menyangkut perbedaan penafsiran atas suatu pasal tertentu dari sebuah regulasi.
Hal ini juga untuk menjaga agar in house counsel tersebut tidak tersangkut masalah hukum di kemudian hari.
“Jangan sampai in house counsel atau corporate lawyer terjebak di sini. Perusahaan karena merasa sudah menggaji in house counsel lantas bisa seenaknya saja meminta legal opinion. Padahal, itu tidak termasuk dalam lingkup pekerjaan sebagai in house counsel. Justru bisa merugikan seorang in house counsel” tegas Founder dan Managing Partner Law Office Darwin Aritonang & Partners ini. (RN)
Be the first to comment