Jakarta, innews.co.id – Dari sisi bisnis, kehadiran rokok tanpa merek tentu akan menyulitkan pengawasan dan pungutan pajak.
“Dari sudut pandang industri, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan juga duplikasi dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), merupakan kebijakan yang berpotensi memunculkan banyak masalah dan menimbulkan kegaduhan,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DKI Jakarta, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Ahad (13/10/2024).
Menurutnya, dari sisi ekonomi juga akan membingungkan terkait pungutan pajak terhadap suatu produk tanpa merek. “Sulit melakukan pengawasan di lapangan karena tak ada merek pada produk yang dijual. Juga berpotensi munculnya duplikasi-duplikasi produk yang tidak bisa dijamin kualitasnya, di mana masyarakat akan sulit membedakan mana produk yang asli dan mana yang palsu Selain itu, dengan mudah akan masuk barang-barang ilegal,” urai Komisaris Independen PT Angkasa Pura Support ini.
Dari aspek sosial, lanjutnya, berpotensi membahayakan masyarakat karena kita tidak tahu apakah benar-benar tembakau yang digunakan. Bisa saja barang sintetis digunakan yang tentunya akan berbahaya bagi kesehatan.
Dirinya yakin bila aturan tersebut diberlakukan, maka akan kian marak produk-produk ilegal. Hal tersebut lantaran sangat sulit sekali mengontrol dan mengawasinya.
“Dampak dari hal tersebut adalah berkurangnya pendapat cukai karena lemahnya pengawasan di lapangan dan kemungkinan permainan pada laporan pajak, sebab faktanya semua produk tak bermerek,” tegas Founder Toko Daging Nusantara ini.
Selain itu, fenomena ini dapat mendorong menguatnya downtrading hingga switching dari rokok legal ke rokok ilegal, yang dapat mengurangi permintaan produk legal hingga 42,09%.
Anulir
Karena itu, jauh lebih baik Kemenkes menganulir rencana penerbitan RPMK tersebut. “Kami sarankan, Kemenkes membicarakan dulu hal tersebut, baik dengan pelaku usaha, stakeholder keuangan, pengamat, serikat pekerja dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan,” saran pengusaha sukses yang baru saja meraih penghargaan sebagai Tokoh Wanita Penggerak Ekonomi & UMKM Provinsi DKI Jakarta ini.
Bila RPMK diterapkan, dikhawatirkan akan terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah perusahaan tembakau dan rokok. Menurut data yang ada, ada sekitar 6 juta orang yang bekerja di sektor industri hasil tembakau (IHT).
“Kami di KADIN DKI Jakarta menyarankan agar Kemenkes benar-benar melakukan pengkajian dengan melibatkan banyak pihak. Karena tidak saja menyangkut penerimaan negara melalui pajak, tapi juga menyangkut hajat hidup orang banyak,” tukasnya.
Disarankan pula agar Kemenkes lebih membuka diri dan mau menerima koreksi dari sejumlah pihak. Sebab, aturan tersebut terkesan diskriminatif terhadap kelangsungan iklim usaha ekosistem pertembakauan.
“KADIN DKI Jakarta meminta agar Kemenkes lebih bijaksana lagi agar tidak mematikan pelaku usaha tembakau di negeri ini. Secara umum, kondisi perekonomian Indonesia belum stabil, bila harus dibebankan dengan aturan-aturan baru seperti ini tentu akan sangat memberatkan,” pungkasnya. (RN)