Solo, innews.co.id – Desa harus memiliki kemandirian, keunggulan, adaptif, dan tangguh. Mandiri artinya, memiliki kesadaran untuk lepas dari ketergantungan pada pihak lain. Unggul berarti memaksimalkan semua potensi yang dimiliki, baik yang berupa aset (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM). Adaptif berarti mampu membaca peluang agar terus memiliki daya saing (kompetitif). Sedangkan tangguh berarti tidak mudah menyerah etika berhadapan dengan tantangan.
Hal ini disampaikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Theofransus Litaay, mewakili Ketua Umum Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) GAMKI William Wandik (Bupati Tolikara) yang berhalangan hadir, pada Rapimnas dan Rakernas GAMKI bertema “Dari Desa untuk Negeri: Pangan Mandiri, Warga Sejahtera”, yang diadakan di Ruang Sriwedari, Hotel Kusuma, Solo, Kamis (29/5/2025).

Pembicara lain, Ketua Umum Sinode Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) Pdt. Samuel Benyamin Pandie menjabarkan, masyarakat desa di Nusa Tenggara Timor (NTT) menghadapi masalah serupa. Namun, GMIT telah melakukan pemberdayaan masyarakat desa selama beberapa tahun terakhir.
Dia mengaku prihatin melihat minat kaum muda untuk menjadi petani yang terus menurun. Lebih suka membeli daripada memproduksi bahan pangan. Padahal, itu membuat mereka harus membayar lebih mahal.
“Saya ingatkan, jangan sampai beberapa puluh tahun lagi masyarakat desa tidak tahu lagi cara bercocok tanam. Maka mulai sekarang masyarakat harus benar-benar mengelola semua potensi yang dimilikinya,” tegasnya.
Dia mendorong gereja menjadi motor perubahan. “Gereja harus jadi fasilitator dengan menjalin kerjasama kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder). Thomas Hobbes menyebut hal ini sebagai adaptive ecclesiology,” imbuhnya.
Dikatakannya, kini wajah desa di NTT sudah mulai berubah. Hasil panen meningkat drastis. Masyarakat di Rote Ndao berhasil mengembangkan komoditas bawang. Sementara di Kupang dan Rote Ndao ada tambak-tambak serta hilirisasi garam yang dilakukan oleh jemaat. Tingkat kesejahteraan masyarakat pun meningkat.
Theofransus Litaay mendukung kebijakan yang diambil GMIT tersebut.
Di sisi lain, Dosen Unpatti dan Kepala Bidang Desa Tertinggal DPP GAMKI, Risyart Far-far, mengingatkan bahwa kondisi masyarakat desa saat ini sangat memprihatinkan.
“Menurut data BPS tahun 2023, kondisi kemiskinan di desa mencapai 12,36 persen. Situasi makin diperparah dengan minimnya partisipasi kaum muda membangun desa,” ujarnya.
Rendahnya pendidikan serta pembangunan infrastruktur menyebabkan ketimpangan antara desa dengan kota kian lebar. Akibatnya, banyak kaum muda desa pergi ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
“Guna mengatasi semua persoalan tersebut, pemberdayaan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta pemberian akses layanan dasar (kesehatan, pendidikan, dan ekonomi) harus diperbesar,” tukasnya.
Sementara itu, Dosen Unpatti dan Kepala Bidang ESDM DPP GAMKI, Baretha Meisar Titioka mendorong Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dimaksimalkan.
Dari sekitar 60.000 BUMDes, hanya segelintir yang benar-benar berkontribusi nyata pada ekonomi desa. Tata kelola yang buruk, ketiadaan sumber daya manusia yang kompeten, konflik kepentingan, dan tingginya ketegantungan pada dana desa jadi penyebabnya.
“Perbaikan menyeluruh harus dilakukan. Jangan sampai potensi besar desa hilang karena tata kelola BUMDes yang buruk,” pintanya. (RN)