“Kehebohan menyikapi revisi UU TNI terlalu berlebihan dan telah menciderai hak prerogatif DPR serta personil TNI umumnya”.
Jakarta, innews.co.id – Kehebohan pembahasan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), dinilai terlalu berlebihan. Bahkan telah menciderai TNI yang sejak awal terbentuknya telah menunjukkan kesetiaan dan loyalitas kepada bangsa dan negara, meski harus hidup prihatin karena anggarannya tak kunjung naik.
“Niat pemerintah dan DPR untuk merevisi UU 34/2004 merupakan suatu upaya untuk mensinkronkan TNI dalam perannya sebagai garda terdepan dan penjaga republik ini. Kok, untuk hal demikian malah dipikir macam-macam. Terlalu overthinking dan sangat tidak beralasan,” kata pengamat politik dan militer kawakan Dr. John Palinggi, MM., MBA., di Jakarta, Senin (17/3/2025).
John sendiri mengaku miris dan prihatin melihat realitas kehidupan personil TNI. Uang makan personil TNI sampai sekarang hanya berkisar Rp 70 ribu – Rp 75 ribu. Sementara institusi lain sudah mencapai Rp 300 ribu. “Sudah pernah diajukan, tapi tak kunjung dibahas,” ujar mantan pengajar di Lemhanas ini.
Saat ini, revisi UU TNI tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR. “Hanya gegara konsinyering dilakukan di Hotel Fairmont saja sudah diprotes. Padahal, mengerti tidak mereka itu bahwa menggodok sebuah UU itu tidak mudah. Konsinyering itu penting agar pembahasan dilakukan intens sehingga lebih cepat dan efisien,” urainya.

Baginya, pembahasan yang berlangsung marathon itu memang sebaiknya dilakukan di hotel karena bisa berlangsung dari pagi hingga subuh. Sementara kalau dilakukan dI DPR kan tidak ada tempat bagi anggota untuk beristirahat, tentu akan lebih panjang waktunya.
John menegaskan, tanpa TNI tidak ada bangsa ini. Selama ini TNI begitu direndahkan oleh orang-orang yang sebenarnya tidak tahu juga apa yang sudah dia perbuat untuk bangsa ini. Bisanya hanya menghina-hina dan merendahkan TNI saja. Bahkan, John mengaku menyaksikan bagaimama TNI dimandulkan hanya gegara pinjaman negara ke IMF.
“Meski hidup personil TNI masih minim dan tidak sesuai dengan UU 34/2004, namun tetap diterima dan tidak mengikis kesetiaannya terhadap bangsa ini,” serunya.
Karena itu, kehebohan yang terjadi di luar soal TNI merupakan bentuk pencideraan, baik terhadap TNI maupun DPR. “Kita dipusingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki kompetensi mengurus TNI. Padahal, Presiden Prabowo sudah menegaskan bahwa bangsa kita harus mandiri dan tidak bergantung pada pinjaman luar negeri,” tegas Ketua Umum Asosiasi Mediator Indonesia (AMI) ini.
Dirinya menegaskan, mereka-mereka yang memprotes keras revisi UU TNI ini kenapa kok tidak berani bicara lantang soal bagaimana korupsi telah menggerogoti bahkan nyaris menenggelamkan bangsa ini?
John flash back, bagaimana terjadi kredit macet, BLBI, KLBI, dan pinjaman luar negeri lainnya yang nilainya lebih dari 1.000-an triliun rupiah menguap tanpa kejelasan. “Kok itu tidak disuarakan lantang. Sementara TNI yang sudah menyerahkan jiwa dan raganya untuk menjaga bangsa ini, UU-nya hanya revisi sudah begitu heboh. Ada apa dengan teman-teman dari NGO ini? Apakah ada pesanan dari kelompok atau institusi tertentu kah?” sergahnya.
Dikatakannya, silahkan saja kalau mau mengkritisi atau memberi masukan soal revisi UU TNI ini, tapi melalui jalur yang benar. Tidak perlu koar-koar seperti itu sehingga jadi bias dan tidak jelas,” tandasnya.
Menyikapi kondisi demikian, lanjut John, dirinya memahami bila TNI menjadi kecewa dan marah. Tapi ada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit yang membuat mereka suka tidak suka harus menahan diri.
Revisi UU TNI
Dirinya melihat, revisi UU TNI sebenarnya tidak banyak berubah dibanding aturan sebelumnya. John mencontohkan, penambahan 3 instansi yakni, Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), sebenarnya sudah ada pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 tahun 2016. Jadi, tinggal dimasukkan saja ke revisi UU TNI.
Sementara, masuknya TNI ke Mahkamah Agung itu sudah sejak 2004, dengan adanya Kamar Militer Mahkamah Agung (MA). Kalau pun dibentuk di Kejaksaan Agung, tentu itu baik sebagai penyeimbang keberadaan Kamar Militer di MA.
Di sisi lain, diizinkannya personil TNI aktif masuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merupakan keputusan tepat karena sesuai dengan tugas pokok TNI untuk membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran, penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan. “Lantas, apa yang salah dengan hal tersebut?” cetusnya.
John Palinggi berharap semua pihak memberi kewenangan pembahasan revisi UU TNI kepada pihak-pihak yang memang berwenang tanpa perlu heboh-heboh yang tidak jelas, apalagi sampai menghina-hina dan mengatakan seolah-olah TNI sementara yang suka berdemo itu tidak ada berbuat apa-apa untuk negara ini.
“Jangan berkedok demontrasi padahal mungkin saja ada pesanan. Apakah berdemo dengan mengatasnamakan masyarakat sipil itu untuk kepentingan negara atau pihak tertentu,” tukasnya.
John mengingatkan semua pihak untuk tidak membenci TNI dalam bentuk apapun juga. “Mereka (personil TNI) sebenarnya hidup tetap penuh kesetiaan bagi bangsa, meski kehidupan dirinya penuh keprihatinan,” pungkasnya. (RN)