Jakarta, innews.co.id – Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025, menghadirkan kehebohan, utamanya bagi para pelaku usaha. Banyak yang menilai, kenaikan tersebut akan memberatkan para pengusaha juga menurunkan daya beli masyarakat. Lalu bagaimana pandangan praktisi ekonomi Dr. John Palinggi terkait hal tersebut?
“Prinsip utamanya, semua warga negara memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Dan, pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan besaran jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh warga negara berdasarkan kemampuan masing-masing,” ujar John Palinggi, kepada awak media, di Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Namun, menjadi pertanyaan, sudahkah pemungutan dan penggunaan pajak digunakan dengan prinsip-prinsip asas keadilan? Misal, jangan diberikan pembebasan pajak bagi mereka yang memiliki harta di luar negeri. Itu tidak efektif, malah memperkaya orang-orang tertentu saja.
“Saya tidak memprotes kenaikan pajak asalkan memiliki prinsip asas-asas keadilan,” tegas pengusaha senior yang telah 45 tahun berbisnis tanpa cacat ini.
John mengkritik ada orang yang baru 20 tahun berusaha di Indonesia sudah menjadi orang terkaya di republik ini. “Kalau memang usahanya tambang atau apapun, tapi jangan ganggu pihak lain yang mau berinvestasi,” ucapnya mengingatkan.
Menurutnya, pemerintah bisa membuat aturan bila pengusaha tambang, misalnya, di suatu lokasi, lantas apa kontribusinya kepada negara. Dengan begitu, keseimbangan antara keuntungan dengan kesejahteraan masyarakat bisa diperoleh secara adil.
Implikasi investasi
Dijelaskan, investasi memiliki implikasi yang baik asal dikelola baik dan dengan aturan serta asas keseimbangan antara kepentingan pemerintah dan pengusaha. “Seorang pengusaha boleh kaya asal tetap membantu negara dan pemerintah. Yang kerap terjadi justru pengusaha yang mendikte pemerintah,” imbuhnya.
Selain itu, aturan yang dibuat harus memiliki asas keadilan. Jangan hanya diberikan kemudahan, pembebasan pajak, dan lainnya kepada pengusaha.
John mencontohkan kasus PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk, yang masalahnya sudah ada sejak 10 tahun silam, tapi baru heboh belakangan ini. “Apapun bantuan pada Sritex tidak akan jalan. Inti persoalan Sritex adalah kelalaian pengusaha untuk tidak segera beradaptasi agar bisa survive. Ada juga kekeliruan di masa lalu, di mana pemerintah membebaskan semua barang masuk dari China,” urai pengusaha sukses yang juga dikenal sebagai Ketua Umum Asosiasi Mediator Indonesia (Amindo) ini.
Dulu, lanjut John, produk tekstil dari berbagai daerah di ekspor ke luar negeri. Entah siapa dalangnya, muncul aturan yang membebaskan semua barang masuk dari China. Akibatnya, perusahaan garmen dan tektil lokal terhempas.
John mengkritik Wamen Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer, yang menurutnya tidak tahu akar masalah Sritex. Diduga, Sritex mengalami kredit macet di bank. Sayangnya, pimpinan Sritex tidak langsung beradaptasi terhadap gencarnya masuk barang-barang tekstil dari China.
Untuk itu, John mendorong pemerintah agar bisa melindungi (memproteksi) produk-produk lokal. Sebab, ada tren juga, pengusaha sengaja mempailitkan perusahaannya agar terhindar dari pembayaran kredit di bank.
Keterbukaan
Bila sudah diputuskan kenaikan PPN 12%, ya dijalankan. “Seiring dengan itu kita berharap pemerintah terbuka bahwa sejumlah pengusaha yang telah menjadi kaya raya di Indonesia dievaluasi berapa keuntungannya serta besaran kredit di bank. Jadi, ada transparansi. Perlakukan kepada semua pengusaha harus sama,” tukasnya.
John juga mengusulkan agar pemerintah mengumpulkan pengusaha-pengusaha untuk menanyakan kontribusinya bagi negara dan masyarakat.
Tak hanya itu, John juga berharap agar dilakukan evaluasi secara komprehensif terhadap pendapatan pajak. Juga, perlu dilakukan pengendalian dan penarikan pajak dengan sistem digital agar tidak ada celah oknum-oknum untuk mengemplang pajak.
“Hati rakyat luka setiap tahu ada oknum kantor pajak yang ditangkap karena kedapatan memperkaya diri dengan mengemplang pajak. Itu juga yang melunturkan dan mengerupsi animo masyarakat untuk bayar pajak,” ucapnya.
John ingat, pada 2006 silam terjadi raibnya Rp 26 triliun dari kas negara yang dilakukan oleh internal Direktorat Jenderal Pajak. Ini sesuai hasil pemeriksaan BPK. Modusnya, misal, pengusaha harusnya membayar pajak Rp 300 milyar, ada dua orang inisial M dan Gayus Tambunan, sebagai operator mendatangi pengusaha dan menawarkan cukup membayar Rp 100 milyar. Untuk jasanya, mereka meminta bayaran Rp 100 milyar. Banyak pengusaha menyambut tawaran ini.
Karenanya, pemerintah harus menertibkan secara komprehensif integral internal Kementerian Keuangan, khususnya pajak dan bea cukai.
“Berbagai regulasi perpajakan coba direview, sehingga masyarakat akan merasa ada jaminan terhadap pajak yang dibayarkan penggunaannya untuk pembangunan nasional yang muaranya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat,” serunya. (RN)
Be the first to comment