Jakarta, innews.co.id – Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 usai dilaksanakan. Menunggu hasil perhitungan suara yang saat ini tengah dilakukan oleh KPU di masing-masing daerah, Bidang Pendidikan Berkelanjutan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) bersama Justitia Training Center menggelar Profesional Training Program Teknik dan Strategi Pendampingan Hukum Calon Kepala Daerah Dalam Pilkada, secara online, Jumat (29/11/2024).
“Baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada rentan dengan gugatan. Tentu peran advokat sangat besar bagi para pencari keadilan. Saya berharap, rekan-rekan advokat bisa benar-benar mendalami terkait beracara di MK, bukan saja meluaskan cakrawala pengetahuan, tapi juga mampu bersikap profesional dalam mendampingi klien,” kata Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI, Prof Otto Hasibuan, lewat pesan singkatnya.
Ketua Harian DPN Peradi R. Dwiyanto Prihartono, saat membuka acara mengatakan, “Acara ini sangat penting untuk memberi masukan kepada para advokat dalam menangani persoalan-persoalan yang muncul dalam Pilkada”.
Sesuai amanat UU Advokat, Peradi sebagai wadah tunggal advokat di Indonesia, secara kontinu mengadakan pendidikan berkelanjutan bagi anggotanya. “Kami berharap anggota Peradi bisa memanfaatkan pendidikan berkelanjutan ini untuk memperkaya wawasan dalam menjalankan profesinya,” ujarnya.
Dua narasumber dihadirkan yakni, Dr. Fahri Bachmid (Pakar Hukum Tata Negara) dan Abhan Misbah (Ketua Bawaslu RI periode 2012-2017).
Fahri menguraikan jenis-jenis sengketa dalam Pilkada terkait pendaftaran dan verifikasi calon, kampanye, pemungutan dan perhitungan suara, penetapan hasil Pilkada, dan administrasi.
“Advokat memiliki peran besar untuk membantu Cakada menyelesaikan persoalannya. Untuk itu, advokat perlu mempelajari secara mendalam terkait regulasi Pemilu/Pilkada,” jelasnya
Sementara itu, Abhan menyebutkan sejumlah hal yang masuk kategori pelanggaran yakni, terkait kode etik penyelenggara Pemilu, administrasi, tindak pidana Pemilu, sengketa proses dan hasil di Mahkamah Konstitusi, dan pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya.
“Prinsip-prinsip kode etik penyelenggara Pemilu ada dua hal yakni, integritas dan profesionalitas,” urainya.
Terkait pelanggaran administrasi, sambung Abhan, meliputi tata cara, prosedur dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan di luar tindak pidana pemilihan dan pelanggaran kode etik pemilihan.
“Terdapat 77 tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu (Pasal 488 – 553) dan terdapat 68 tindak pidana yang diatur UU Pemilihan (Pasal 177 – 198a). Banyaknya tindak pidana yang diatur, baik dalam UU Pemilu maupun UU Pemilihan memperlihatkan bahwa pidana dijadikan sarana utama (premium remedium) dalam menanggulangi ketidakberesan yang terjadi dalam Pemilu/Pemilihan,” beber Abhan.
Disampaikan pula sejumlah alat bukti dalam perkara perselisihan hasil pemilihan yaitu, surat atau tulisan, keterangan para pihak, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan pihak lain, petunjuk.
Hal lainnya, dalil yang sering jadi posita dalam permohonan PHP di MK antara lain, data pemilih, manipulasi perolehan suara, sistem noken (di Papua), politik uang, penyalahgunaan program pemerintah, abuse of power, netralitas ASN, TNI/Polri, intimidasi terhadap penyelenggara pemilihan dan pemilih, mobilisasi pemilih, KPPS menyalahgunakan sisa surat suara dengan cara dicoblos, rekomendasi PSU dari Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti, selisih antara jumlah antara pengguna hak pilih (pemilih yang hadir) dengan jumlah surat suara yang digunakan. (RN)
Be the first to comment