Jakarta, innews.co.id – Keputusan Mahkamah Agung memutasi 199 hakim dan 68 panitera di berbagai daerah belum sebagai solusi untuk menghapus image pengadilan seperti goa hantu dan menghadirkan wajah pengadilan yaitu, tempat yang mengerikan karena kerap terjadi transaksional.
“Saya mengapresiasi upaya mutasi hampir 200 hakim dan puluhan panitera yang dilakukan oleh MA. Ini sebagai bentuk kepedulian MA terhadap perilaku sejumlah hakim yang dinilai tidak profesional dalam menangani perkara,” kata mantan Hakim Agung RI, Prof Gayus Lumbuun, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Akan tetapi, itu belum menjadi solusi untuk merubah wajah pengadilan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga terhormat tersebut. “Persoalannya tidak sesimple itu. Tidak bisa juga dikatakan setelah dimutasi lantas masalah selesai,” ujarnya kritis.
Prof Gayus menegaskan, mutasi merupakan proses yang sudah biasa dilakukan. Namun, dipertanyakan, apakah dengan mutasi ada jaminan seorang hakim akan konstan berperilaku baik? Karena bisa jadi yang baik malah dimutasi, sementara yang busuk tidak. Mutasi itu juga ibarat penyegaran (refresh) atau tour of duty saja, tapi belum tentu menghapus tabiat dan motivasi seseorang saat menjadi hakim. Kalau mutasi dilakukan sementara orang-orangnya tidak dievaluasi kinerjanya tidak akan membawa dampak apapun.

“Kalau tabiatnya memang serakah (greedy) atau motivasinya menjadi hakim hanya untuk memperkaya diri sendiri, ya tentu akan tetap seperti itu, mau dimutasi kemanapun juga. Jadi, masalahnya tidak sesederhana itu,” serunya.
Lakukan evaluasi
Hal penting yang harus dilakukan, kata Prof Gayus, adalah mengevaluasi kinerja seluruh hakim dan panitera secara terbuka. Tentu diawali dengan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
“Dari evaluasi tersebut akan ketahuan mana hakim/panitera yang baik, mana yang busuk atau bahkan masuk kelompok mafia peradilan atau makelar kasus (markus),” imbuh penulis buku best seller “Menerobos Goa Hantu Peradilan Indonesia” ini.
Prof Gayus menegaskan, evaluasi para hakim harus dipimpin langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto sebagai Kepala Negara. Bisa dibentuk semacam tim independen, panitia seleksi (pansel) atau lembaga/badan khusus untuk menjalankannya.
‘Bersih-bersih di lembaga peradilan menjadi hal yang urgen saat ini, mengingat banyak kasus yang viral dan mencengangkan terjadi melibatkan para hakim. Mulai dari putusan yang tidak berazaskan keadilan sampai pada dugaan kongkalikong antara hakim dengan korporasi yang bersifat transaksional.
“Kita sedih dan marah melihat kondisi ini. Karenanya, bila tidak segera dibenahi, maka efek dominonya sangat besar kepada para pencari keadilan,” tegas Prof Gayus.
Koordinasi dengan DPR
Terkait evaluasi para hakim, Prof Gayus menyarankan agar pemerintah juga berkolaborasi dengan DPR RI, terutama terkait penganggaran yang masuk APNN, di mana DPR berkewajiban memgontrol anggaran di tiap lembaga. Diharapkan dengan penganggaran yang baik para hakim bisa menempati rumah yang layak dan fasilitas lainnya sehingga dirinya bisa fokus mengurus perkara yang menjadi tugasnya.
Tak hanya hakim, menurut Prof Gayus, advokat pun sebagai salah satu pilar penegak hukum bersama hakim, jaksa, dan polisi menurut UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, pun harus dievaluasi. Dalam hal ini bisa dilakukan melalui organisasi advokat.
“Advokat juga harus dievaluasi sebab dalam banyak pelanggaran di pengadilan, advokat juga banyak yang terlibat. Ini dimaksudkan agar dunia peradilan bisa benar-benar bersih,” tuturnya.
Lembaga eksaminasi
Prof Gayus juga mengusulkan dibentuk Lembaga Eksaminasi yang tugasnya melakukan pengujian terhadap putusan-putusan perkara yang dirasa janggal. “Lembaga ini penting untuk menghindari terjadinya politik transaksional dan suap menyuap antara pihak yang berperkara dengan hakim. Nanti lembaga tersebut akan mengkaji suatu putusan yang dibuat hakim,” urainya.
Dipaparkan, dalam ilmu ekonomi, transaksi terjadi karena ada demand dan supply. “Dengan adanya Lembaga Eksaminasi, maka pihak yang berperkara akan berpikir 1.000 kali untuk ‘bertransaksi’ dengan hakim karena bila putusannya janggal tentu akan dieksaminasi. Jadi, transaksional yang terjadi akan sia-sia,” yakin Prof Gayus.
Sekitar tahun 2022 silam, Prof Gayus pernah mendiskusikan pembentukan badan/lembaga ini kepada Menko Polhukham Mahfud MD. Begitu juga soal pentingnya dilakukan evaluasi terhadap para hakim di semua tingkatan. Alhasil, Menko Polhukham setuju dan akan menggandeng 10 pakar hukum untuk membahas lebih lanjut. Namun, karena keburu selesai masa tugasnya, usulan Prof Gayus itu pun belum .
“Kita harus benar-benar concern untuk membenahi lembaga peradilan ini. Karena percuma ekonomi dan politiknya baik tapi hukumnya carut-marut, investor pun enggan masuk nanti. Pak Prabowo harus serius membenahi dunia peradilan agar pengadilan tidak seperti gua hantu,” pungkasnya. (RN)