
Perlukah dilakukan kodifikasi hukum terhadap peraturan di Polri, Kejaksaan, dan KPK?
Jakarta, innews.co.id – Penegakkan hukum di Indonesia akhir-akhir ini tengah disuguhkan dengan berbagai peristiwa yang cukup mencengangkan. Namun di sisi lain, nampaknya ada overlap kewenangan dari para penegak hukum. Bila dibiarkan, tentu bisa membuat iklim penegakkan hukum menjadi kurang baik. Dari yang sejatinya saling melengkapi menjadi persaingan terbuka.
Mantan Hakim Agung RI Prof Gayus Lumbuun coba menelisik terkait tumpang tindihnya kewenangan dari para penegak hukum. Ternyata ditemukan fakta bahwa hal tersebut benar adanya.
“Keberhasilan Kejaksaan Agung membongkar kejahatan besar dibalik vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, di mana ditemukan uang tunai hampir Rp 1 triliun dan emas seberat 51 kilogram, yang melibatkan oknum mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA) berinisial ZR, merupakan kerja yang fantastis,” kata Prof Gayus.
Namun, hal tersebut tidak lantas menjadi sebuah ketentuan bahwa jaksa bisa menangani perkara pidana sendiri, termasuk penyelidikan dan penyidikan. Uniknya di kasus ini, Jaksa berperan sebagai penyidik sekaligus penuntut.

“Pasal 1 ayat 1 KUHAP menyebutkan, bahwa kepolisian yang diberi wewenang khusus dalam melakukan penyidikan. Dengan kata lain, polisi merupakan penyidik tunggal dalam perkara pidana. Hal tersebut juga termaktub dalam Perkap No. 14 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa polisi adalah penyidik utama. Sesuai UU 12/2011 tentang peraturan perundang-undangan, Peraturan Kapolri atau sejenisnya termasuk aturan yang digunakan bila UU tidak cukup mengaturnya,” terangnya.
Sementara di Pasal 1 ayat (6) KUHAP jelas dikatakan, “(a) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (b) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
“Dari situ saja sudah jelas kewenangan dari masing-masing lembaga, baik kepolisian maupun kejaksaan. Lantas, bila kejaksaan juga bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan, bukankah artinya itu sudah overlap?” tanya Prof Gayus.
Kalau dilihat, tidak hanya Kejagung yang memiliki penyidik, di pegawai negeri sipil juga ada, yang dikenal dengan PPNS (penyidik PNS), yang diberi kewenangan penyidikan sesuai lingkup kerjanya.
Penuntutan
Tumpang tindihnya penegakkan hukum di Indonesia juga nampak dari aspek penuntutan.
“Melihat Pasal 1 ayat (6) KUHAP, tentu kita ketahui bahwa Jaksa yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan. Tapi faktanya tidak demikian. Ternyata ada lembaga lain yang bisa melakukan penuntutan di pengadilan yakni, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini juga bentuk overlap dari penegakkan hukum,” tegas Prof Gayus.
Selain itu, peran jaksa sebagai penuntut umum juga diatur dalam beberapa peraturan, antara lain: Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia: Pasal 2 dan Pasal 30 dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP): Pasal 1 ayat (3), Pasal 140, dan Pasal 141. Terdapat juga dalam Peraturan Pelaksana yakni, Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. 17 Tahun 2018 tentang Tata Kerja Penuntutan.
Dalam ragam aturan tersebut jelas dikatakan bahwa jaksa ditunjuk sebagai penuntut umum yang bertugas untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana.
Menurut Prof Gayus, baik KPK maupun Kejagung harus fokus pada bidang kerja masing-masing dan tidak mengambil bagian lembaga lain. Nanti bisa tumpang tindih dan cenderung bersaing satu lembaga dengan yang lain.
Sebagai lembaga yang dibentuk untuk menangani masalah tindak pidana korupsi (tipikor), KPK harus fokus. Jangan ikut-ikutan menjadi penuntut juga. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XXI/2023, sudah membatasi kewenangan jaksa, di mana tidak diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali (PK). Setelah itu, Kejagung merevisi UU Kejaksaan dengan menempatkan kata bahwa jaksa boleh mengajukan PK dengan dalih demi kepentingan umum.
Hal lainnya yang tidak kalah menarik, menurut Prof Gayus adalah soal istilah tertangkap tangan. Saat ini muncul lagu istilah operasi tangkap tangan yang sebenarnya tidak ada dalam aturan. Tangkap tangan diartikan sebagai seorang yang tertangkap seketika melakukan tindak kejahatan.
Kodifikasi
Melihat kecenderungan aturan hukum yang demikian, Prof Gayus memandang perlu dilakukan kodifikasi terhadap berbagai aturan bagi para penegak hukum atau dilakukan suatu model omnibus law tentang UU Penegakkan Hukum dari beberapa lembaga hukum.
“Perlu disinkronkan aturannya sesuai dengan kewenangan masing-masing lembaga agar tidak terjadi kerancuan,” imbuh Prof Gayus.
Baginya, harus kembali pada tupoksi masing-masing. Apalagi hal-hal yang menyangkut lex specialis menyangkut KUHAP tidak boleh diabaikan.
“Juga diperlukan pandangan yang sama tentang batas wewenang menangani perkara menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000, sebagaimana diatur pada Pasal 11 UU No.19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Demikian juga harus ada pemahaman bersama tentang restoratif justice, yang selama ini berdasarkan Peraturan Jaksa Agung dan Peraturan Kapolri,” urainya.
Kodifikasi atau omnibus law, sambungnya, merupakan hal yang sangat penting agar penegakkan hukum bisa berjalan dengan baik, di mana semua lembaga penegak hukum bisa bersama-sama dengan kewenangan masing-masing memastikan hukum sebagai panglima di Indonesia. (RN)
Be the first to comment