Jakarta, innews.co.id – Sidang gugatan terhadap Panitia Seleksi Komisi Kepolisian Nasional (Pansel Kompolnas) 2024-2028, yang dilayangkan oleh peserta seleksi Nur Setia Alam Prawiranegara, terus bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Sidang di PTUN Jakarta, Selasa (25/2/2025), menghadirkan Ahli Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dalam uraiannya, Dian menjelaskan bahwa suatu keputusan apapun harus didasarkan pada alas hukum dan alas fakta memadai.
“Keputusan yang dikeluarkan pejabat dan/atau badan administrasi pemerintahan merupakan keputusan yang dibentuk berdasarkan wewenangnya (authority judgment) dengan memperhatikan alas hukum dan alas fakta, termasuk asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014,” urainya.
Menjawab pertanyaan pihak Pelapor, terkait bisa tidaknya keputusan Pansel digugat, Dian menguraikan, “Ada suatu keputusan yang tidak didasarkan pada authority judgment, tetapi pada expert judgment karena didasarkan pada pertimbangan legitimasi non-hukum menurut penilaian berkeahlian yang bersifat common sense dan karakter rasionalitas yang didasarkan pada faktor keahlian tertentu di luar pengetahuan hukum. Tetapi itu bukan pada pemenuhan syarat yang sudah jelas atau bertentangan dengan UU, atau tanpa pemenuhan kewajiban Pasal 7 ayat (2) huruf f dan g.
Ahli menilai, gugatan yang dilayangkan sudah sesuai dengan ketentuan yang ada.
“Bisa dilakukan (gugatan) karena pemenuhan syarat dan kewajiban yang tidak terpenuihi. Misalnya SEMA 3 tahun 2015 menyatakan harus menerapkan prinsip kehati-hatian, ternyata tidak karena itu tidak dipenuhi,” tukasnya.
Lebih jauh Ahli menyatakan, sebelum keputusan ditetapkan, apabila badan atau pejabat pemerintahan telah menjalankan kewajiban untuk menjawab dan menerima pihak yang merasa dirugikan, sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf f dan g UU Nomor 30 Tahun 2014, sehingga keputusan tersebut telah memiliki alas fakta yang memadai.
Hal ini juga apabila telah dilakukan oleh pejabat pemerintahan dengan cara dan metode apapun. Misal, mengundang dan mengirimkan pesan elektronik atau pesan singkat ponsel, pada hakikatnya telah terpenuhinya kewajiban tersebut.
Namun, tidak demikian di kasus yang mendera Setia Alam Prawiranegara, di mana keputusan dilakukan sepihak.
Bagi Ahli, bisa saja Pansel hanya menafsirkan sepihak. Padahal, itu harus diklarifikasi dan verifikasi kepada pihak yang dimaksud. “Harusnya dilakukan verifikasi untuk menghindari adanya mistake atau salah kira dalam menetapkan keputuisan,” pungkasnya. (RN)