Jakarta, innews.co.id – Merebaknya kasus-kasus di dunia peradilan, mulai dari hukuman bebas kepada terdakwa yang telah menyebabkan seseorang kehilangan nyawanya sampai patgulipat antara korporasi dengan hakim yang berdampak pada putusan, telah melahirkan keprihatinan mendalam bagi para akademisi.
Dua akademisi senior dalam podcast UTA Bicara beberapa waktu lalu, bicara tentang peran lembaga pendidikan dalam mencetak para intelektual dengan moral yang
“Sejak era reformasi, terjadi degradasi moral yang sangat tinggi. Selain itu, terjadi ‘penghianatan’ dalam sistem rekruitmen, termasuk pada aparat penegak hukum. Kalau rekruitmennya sudah tidak benar, kita tidak bisa berharap banyak. Kalau bibitnya sudah busuk, bagaimana kira berharap jadi buah yang manis,” kata Dr. Rudyono Darsono Ketua Dewan Pembina Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (UTA) Jakarta, dilansir dari laman youtube, Sabtu (19/4/2025).
Lainnya, masih kata Rudyono, soal sistem pengawasan. Dirinya menyoroti diamputasinya kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim yang hanya sebatas perilakunya saja, tidak boleh sampai ke ranah teknis putusan. Baginya, KY ibarat hanya satpam penjaga absensi bagi para hakim saja. Padahal, yang terjadi jual beli tentang materi perkara dan putusan, bukan soal perilaku yang kelihatan.
Rudyono menilai, saat ini, mafia peradilan sudah semakin terang-terangan, bahkan terkesan terorganisir
Sementara itu, Prof Gayus Lumbuun, Ketua Dewan Pembina Universitas Krisnadwipayana (Unkris) dengan tegas mengatakan, “Perbuatan negatif, apapun bentuknya, yang dilakukan oleh oknum-oknum penegak hukum harus diperangi. Kita harus carikan solusi, mulai dari lembaga pendidikan”.
Dirinya sependapat dengan Rudyono bahwa proses rekruitmen di pengadilan menjadi hal penting, apalagi untuk menduduki jabatan tertentu, seperti Kepala Pengadilan Negeri, Kepala Pengadilan Tinggi, dan lainnya. Termasuk juga merekrut para Pembantu Presiden, di mana track records dan keahlian harus jadi parameter penting, diatas segalanya.
Usulan evaluasi hakim
Prof Gayus Lumbuun ini mengatakan, pada tahun 2014, ketika menjabat sebagai Hakim Agung RI, dirinya berinisiatif menemui Presiden RI Joko Widodo untuk mengusulkan agar hakim-hakim se-Indonesia dievaluasi. Hakim yang baik dipertahankan, sementara yang buruk diganti.
“Evaluasi dan pembinaan dilakukan lebih dulu pada Ketua PN, Ketua PT, dan jajaran pimpinan di Mahkamah Agung. Harapannya, setelah mereka dievaluasi bisa memotivasi bawahannya untuk bekerja baik, jujur, dan bersih,” urai Prof Gayus.
Sejatinya, MA telah memiliki ‘buku putih’ guna menciptakan court excellent yakni, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Dibawahnya yang diikuti dengan Peraturan MA RI Nomor 01 Tahun 2020 tentang sanksi-sanksinya. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa bila ada hakim bermasalah, maka sanksinya akan berjenjang.
Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa bila hakim menerima suap Rp 50.000 saja, hukumannya 5 tahun penjara. Apalagi kalau miliaran rupiah keatas, bisa kena hukuman penjara seumur hidup.
“Meski sudah ada aturan yang sebenarnya cukup berat itu, masih saja terjadi praktik-praktik suap di pengadilan. Kalau begitu, artinya sudah tidak bisa lagi dengan aturan dan pengawasan, tapi evaluasi total. Kalau ada yang jelas-jelas melakukan perbuatan menyimpang harus langsung dibuang,” tegas Prof Gayus.
Pengawasan sangat lemah
Rudyono senada dengan Prof Gayus bahwa perlu dilakukan evaluasi besar-besaran di lembaga peradilan. Dirinya menyebut selama ini pengawasan sangat lemah.
Bahkan, Rudyono mengendus gelagat, antar-penegak hukum saling menyandera dan berupaya membangun kastil sendiri-sendiri.
Prof Gayus menambahkan, lembaga pendidikan penting memberi penguatan terkait iman dan taqwa kepada para mahasiswanya. Menyitir kata Prof BJ Habibie, “Ilmu pengetahuan dan teknologi tak ada artinya dibandingkan iman dan taqwa”.
Karenanya, Prof Gayus mendorong agar tiap universitas betul-betul memperhatikan iman dan taqwa mahasiswanya sehingga memiliki benteng moral yang kuat.
“Dunia kampus perlu mengambil peran agar menghasilkan intelektual-intelektual yang betul-betul bersih dan bermoral excellent,” pungkasnya. (RN)